SOLOPOS.COM - Ilustrasi industri tekstil. (JIBI/Solopos/Dok.)

Solopos.com, SOLO — Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan menilai seharusnya pemerintah mempunyai kepentingan besar dalam mengatasi permaslahan tekstil di Indonesia.

Anton menyebut salah satu langkah untuk melindungi industri tekstil dalam negeri, misalnya dengan cara pemberian insentif bagi sektor tekstil. Selain itu, penguatan industri tekstil Tanah Air bisa dilakukan dengan mempermudah pengadaan mesin.

Promosi Jelang HUT ke-59, Telkom Gelar Customer Gathering hingga Beri Bantuan ke UMKM

Dia mencontohkan upaya yang bisa dilakukan misalnya melalui kredit lunak untuk investasi mesin. Oleh sebab itu, hal ini mampu memudahkan produk industri tekstil bisa kompetitif di pasar ekspor. Anton menjelaskan pemerintah China mempunyai kebijakan subsidi ekspor.

“Harusnya memang industri kita didukung dengan kepentingan pemerintah. Jadi kita punya kepentingan menjaga industri tekstil, karena itu salah satu yang menyerap tenaga kerja,” kata dia, saat dihubungi Solopos.com, pada Senin (17/6/2024).

Maka, sambung Anton, pemerintah maupun pelaku industri harus seharusnya mempunyai kepentingan yang sama. Dari sisi sektor formal pertumbuhan angkatan kerja, hingga saat ini salah satunya didukung dengan industri tekstil.

Hal ini disebabkan dengan pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang modern yaitu pekerja dibayar sesuai upah minimum dan mendapat jaminan sosial.

“Ketika sekarang industri tekstil banyak yang tutup, banyak yang bangkrut itu mengurangi lapangan kerja sektor formal. Nah, padahal sekarang ini pertumbuhan angkatan kerjanya makin banyak. Sehingga sektor padat karya seperti tekstil kemudian juga ada mebel itu, dan manufaktur secara umum yang padat karya, yang butuh banyak karyawan itu sekarang ini tidak begitu berkembang,” ujarnya.

Jika banyak perusahaan tekstil yang tutup, angka pengangguran terbuka bisa meningkat. Hal ini juga bisa berdampak ke kualitas pekerjaan yang kurang baik. Saat ini, Anton menerangkan sebanyak 70% dari angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor informal.

Pekerja di sektor informal ini rentan karena dibayar di bawah upah minimum dan tidak ada jaminan sosial. Sementara pekerja di sektor formal hanya sekitar 30%.

Sektor tekstil menurut Anton juga menemui beragam tantangan. Apalagi ditambah dengan dinamika pemilihan presiden (Pilpres) yang berimbas pada sektor perekonomian.

Dia menceritakan sekitar 15 tahun lalu, salah satu raksasa tekstil di Solo pernah membeli mesin baru dan mampu menaikkan angka investasi yang signifikan.

Namun, beberapa tahun kemudian, perusahaan tersebut juga akhirnya mengalami penurunan di pasar global. Dia menilai pemain utama industri tekstil harus lebih inovatif untuk mampu bersaing di pasar global.

Baik dari sisi produk ataupun mencari ceruk pasar lain sehingga tidak secara face to face berhadapan dengan pemain besar industri tekstil di pasar global. Anton menilai sektor tekstil di Indonesia juga sedikit terlambat untuk memperbarui teknologi dibandingkan negara lain, seperti China.

Dilansir dari Bisnis.com, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) membeberkan sederet penyebab puluhan pabrik tekstil nasional tutup hingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal ribuan buruh tekstil.

Berdasarkan catatan API, total karyawan pabrik tekstil yang terkena PHK hingga Mei 2024 mencapai 10.800 pekerja. Angka tersebut melanjutkan PHK sepanjang 2023 yang tercatat mencapai 7.200 pekerja di sentra industri TPT yakni Bandung dan Solo.

Wakil Ketua Umum API David Leonardi mengatakan pada kuartal I/2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66,67% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Terdapat kurang lebih 20-30 pabrik yang mungkin saat ini sudah tutup dan tidak tercatat jumlah pabrik yang melakukan PHK pada tenaga kerjanya,” kata David kepada Bisnis, Jumat (14/6/2024).

Meskipun, David memperkirakan bahwa jumlahnya dapat lebih besar lantaran jumlah pekerja kontrak yang tidak tercatat menunjukan angka PHK yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan PHK yang tercatat.

Dalam hal ini, dia menegaskan permasalahan utama yang menyebabkan terjadinya PHK secara masif adalah turunnya order untuk industri tekstil dalam negeri lantaran harga produk yang sulit bersaing dengan produk impor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya