SOLOPOS.COM - Ilustrasi PHK massal.(Freepik).

Solopos.com, JAKARTA — Industri hasil tembakau (IHT) ditimpa tekanan kenaikan cukai, pengenaan pajak untuk rokok elektrik, dan beleid RPP Kesehatan yang memasukkan tembakau ke dalam kategori zat adiktif.

Kondisi tersebut tak pelak memicu risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan di berbagai industri terkait. Tak hanya IHT yang akan terkena imbas, berbagai tekanan tersebut juga akan memicu kerugian di sejumlah industri seperti tembakau, ritel hingga industri kreatif yang berujung pada penurunan pendapatan ekonomi negara.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Sekretaris Jenderal Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) Garindra Kartasasmita cepat atau lambat, pihaknya terpaksa harus melakukan efisiensi karyawan dan pemutusan kerja sama dengan industri periklanan.

“Meskipun belum menyentuh karyawan tetap, tetapi sudah memaksa kami untuk melakukan efisiensi jasa pihak ketiga antara lain untuk pos pemasaran dan periklanan,” kata Garin, Rabu (3/1/2024).

Sebab, dalam RPP Kesehatan sebagai turunan dari UU No. 17/2023 tersebut membatasi dan melarang berbagai platform media untuk mengiklankan produk hasil tembakau. Hal ini pun memicu keresahan dari industri kreatif terutama periklanan, ritel, petani tembakau, hingga industri tembakau.

Melansir Data TV Audience Measurement Nielsen, iklan produk tembakau bernilai lebih Rp9 triliun sementara kontribusi tembakau terhadap media digital mencapai sekitar 20% dari total pendapatan media digital di Indonesia yaitu sekitar ratusan miliar per tahun.

Terlebih lagi, berdasarkan Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di tahun 2021, industri kreatif memiliki lebih dari 725.000 tenaga kerja dan secara umum, multi-sektor di industri kreatif juga mempekerjakan 19,1 juta tenaga kerja.

Dengan kontribusi iklan industri produk tembakau, artinya penerimaan yang diperoleh industri kreatif akan menurun 9-10% yang akan berdampak besar terhadap penyerapan tenaga kerja dan pendapatan industri kreatif.

Peneliti Indef Bidang Indsutri, Perdagangan, dan Investasi, Ahmad Heri Firdaus menerangkan dari segi lapangan usaha, RPP Kesehatan dapat menurunkan ouput industri rokok sebesar 26,49% yang diikuti dengan turunnya penyerapan tenaga kerja sebanyak 10%. Terlebih, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai PDB industri pengolahan tembakau sebesar Rp82 triliun pada harga konstan dan Rp135 triliun pada harga berlaku.

“Satu sisi kita ingin mengedepankan kesehatan tapi tentunya tidak dengan cara yang sporadis seperti itu, karena akan menimbulkan guncangan yang lebih besar disisi ekonomi ternyata,” ujarnya.

Sementara itu, kenaikan cukai rokok telah memangkas produksi IHT sehingga memicu pemangkasan jumlah tenaga kerja buruh hingga petani tembakau.

Gabungan Produsen Rokok Putih (Gaprindo) memperkirakan penurunan produksi industri hasil tembakau (IHT) tahun 2023 imbas kenaikan tarif cukai tembakau 10% pada 2023 dan 2024. Total produksi 2023 yang diperkirakan sekitar Rp300 miliar atau turun sekitar 10% dari Rp330,1 miliar pada 2022.

“Penurunannya ini karena cukai naik, otomatis harga jual eceran rokok naik sementara konsumen daya belinya lemah,” kata Ketua Umum Gaprindo, Benny Wachjudi, beberapa waktu lalu.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani melaporkan produksi rokok secara umum turun 1,8%, khususnya golongan I yang anjlok hingga 14% (year-on-year/yoy) setelah pemerintah menaikkan cukai rokok 10%. Sri Mulyani menyampaikan penurunan produksi rokok mulai dari Marlboro hingga Sampoerna tersebut sejalan dengan harapan pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok.

Perluas Pasar Ekspor

APVI juga tengah membuka peluang untuk memperluas pasar ekspor di tengah tekanan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) rokok elektrik 15% dan pengenaan pajak 10%.

Sekretaris Jenderal APVI Garindra Kartasasmita mengatakan penjajakan pasar baru sedang dilakukan, khususnya untuk ekspansi ekspor rokok elektrik. Garin mengaku sejauh ini masih fokus ke pasar domestik, di samping ekspor ke beberapa negara Asia.

“Dari segi penjualan, ekspor dirasakan menjadi yang cukup penting, karena tidak ada beban cukai untuk ekspor, dan beban cukai di negara lain pun relatif lebih rendah,” kata Garin, Rabu (3/1/2024).

Hal yang sama pun dikakukan oleh Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) yang juga terbebani oleh kenaikan cukai rokok 10%. Ketua Umum Gaprindo, Benny Wachjudi mengatakan pelaku usaha dalam kondisi ini tidak banyak pilihan strategi yang dapat dilakukan. Untuk itu, strategi peningkatan ekspor yang masih menjadi pilihan utama, khususnya untuk produsen sigaret putih mesin (SPM).

Adapun, SPM dan sigaret kretek mesin mengalami penurunan produksi yang signifikan lantaran harga yang cukup kompetitif. Sedangkan, sigaret kretek tangan (SKT) akan tetap tumbuh karena harga jual yang masih lebih murah.

“Tidak banyak pilihan strategi yang dapat dilakukan. Strategi peningkatan ekspor masih menjadi pilihan utama produsen SPM,” tuturnya. Pengusaha berbagai jenis rokok mulai mengandalkan rokok lantaran pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), ekspor produk hasil tembakau tumbuh sebesar 17,26% pada akhir 2023.

“Sebagian besar yang tinggi peningkatannya adalah rokok elektrik, jadi kita mengekspor ke beberapa negara termasuk Amerika Serikat utamanya,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika.

Optimisme pasar ekspor membuat pengusaha masih memiliki keyakinan untuk tumbuh. Putu menyampaikan perkembangan indeks keyakinan industri (IKI) untuk produk olahan hasil tembakau terus mengalami peningkatan. Bahkan, terjadi lonjakan kenaikan dari November 2023 di level 50,79 menjadi 57,64 pada Desember 2023.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya