SOLOPOS.COM - Ilustrasi pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). (Freepik)

Solopos.com, JAKARTA – Pemerintah dan DPR perlu mencermati urgensi skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena tidak jelas dan berisiko merugikan negara.

“Urgensi skema power wheeling yang masuk dalam pembahasan RUU EBET ini harus dijelaskan dan dicermati betul karena sangat berisiko berdampak buruk bagi negara,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov di Jakarta, Rabu (10/4/2024) seperti dilansir Antaranews.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Menurut Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development Indef itu sampai saat ini, baik pemerintah maupun DPR sama sekali belum mengungkap secara gamblang alasan terkait dengan skema power wheeling.

“Pasal power wheeling ini seperti siluman, kadang muncul, kadang tenggelam. Pun tidak jelas rupa dan tujuannya. Untuk itu, kami akan mengawal kebijakan ini,” kata Abra melalui keterangan tertulis.

Dikatakannya, power wheeling merupakan sistem yang sangat liberal dan berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 harus dikuasai oleh negara.

Mahkamah Konstitusi (MK), tambahnya, sudah melegitimasi itu dengan membatalkan skema unbundling dalam UU Ketenagalistrikan.

Menurut dia, skema power wheeling merupakan mekanisme liberal yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung sehingga berisiko teknis dalam implementasinya karena EBET memiliki sifat intermiten yang berisiko mengganggu keandalan listrik negara.

Menurutnya, desakan untuk memasukkan power wheeling sebagai insentif ini juga tidak beralasan karena sesungguhnya pemerintah sudah menunjukkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030.

Dalam RUPTL, yang seringkali diklaim sebagai green RUPTL itu, sebetulnya sudah ada peningkatan porsi EBET yang signifikan, lanjutnya, bahkan ada tambahan EBET itu 20,9 gigawatt, di mana 56,3 persennya adalah porsi swasta.

Dengan sudah ada porsi swasta pada roadmap tersebut, paparnya, sebetulnya sudah cukup menjadi keyakinan investor bahwa memang negara punya arah yang cukup jelas untuk mendorong bauran suplai listrik dari EBET.

Pada sisi suplai, tambahnya, sepertinya negara sudah membuka ruang yang cukup lebar terhadap peran swasta. Saat ini yang bermasalah justru sisi demand atau permintaan yang masih sangat kecil.

“Konsumsi listrik di Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara lain dalam ASEAN, bahkan belum mencapai separuh dari Vietnam yang mencapai sekitar 2.500 KwH per kapita. Sisi demand ini yang seharusnya penting untuk dibahas, bukan suplainya,” kata Abra Talattov.

Penolakan Serikat Pekerja

Sebelumnya, Dewan Pengurus Pusat Serikat Pekerja (DPP SP) PLN menolak keinginan memasukkan skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) karena dinilai sebagai bentuk liberalisasi pengelolaan listrik.

Ketua Umum DPP SP PLN, M.Abrar Ali dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (4/4/2024), menegaskan, pihaknya tidak setuju adanya skema power wheeling dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET.

Abrar Ali menganggap penyertaan skema ini tidak mengutamakan kepentingan rakyat dan lebih condong memberikan keuntungan kepada korporasi oligarki.

“Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PLN menegaskan penolakan terhadap pengesahan RUU EBET sebagai undang-undang jika tetap menyertakan klausul power wheeling,” ujarnya.

Untuk diketahui, power wheeling merupakan mekanisme yang dapat mentransfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi (transmisi) milik negara secara langsung.

Lebih lanjut, Abrar menyampaikan kekecewaan serikat pekerja terkait dengan kembalinya usulan ini, mengingat sebelumnya skema power wheeling sudah ditarik dari RUU EBET setelah dievaluasi oleh Kementerian Keuangan.

Dikatakannya, SP PLN pada Rabu (3/4/2024) telah menyampaikan pernyataan sikapnya kepada DPR RI menyusul pernyataan Menteri ESDM di media untuk mendorong masuknya skema power wheeling dalam RUU EBET.

Isi pernyataan SP PLN tersebut pertama, mendukung sikap Presiden RI yang mengeluarkan skema power wheeling dari DIM RUU EBET.

Kedua, menolak power wheeling masuk kembali dalam pembahasan lanjutan RUU EBET karena sarat dengan muatan liberalisasi di sektor ketenagalistrikan yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Ketiga, sikap penolakan SP PLN didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001 – 021.022/PUU-I/2003 Judicial Review Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 111/PUU-XIII/2015 Judicial Review Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Terakhir, keempat meminta diadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang melibatkan Serikat Pekerja PT PLN (Persero) pada kesempatan pertama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya