Bisnis
Senin, 10 Juni 2024 - 16:19 WIB

UU KIA Beri Hak Cuti Melahirkan 6 Bulan, Pekerja di Solo Khawatir Jadi Bumerang

Galih Aprilia Wibowo  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pekerja wanita. (Freepik.com).

Solopos.com, SOLO–Langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui naskah Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) disahkan menjadi undang-undang (UU) direspons beragam oleh beberapa kalangan.

Kalangan pekerja menilai perlu ada sosialisasi manfaat atas aturan dalam RUU KIA tersebut, sedangkan pengusaha menganggap aturan ini bisa saja mengubah proses rekrutmen tenaga kerja nantinya.

Advertisement

Diberitakan sebelumnya, RUU KIA memuat perumusan cuti bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan, yaitu paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Selain itu, setiap ibu yang bekerja yang melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya, dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75% dari upah untuk bulan kelima dan keenam.

Advertisement

Selain itu, setiap ibu yang bekerja yang melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya, dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75% dari upah untuk bulan kelima dan keenam.

RUU KIA juga mengatur tentang penetapan kewajiban suami untuk mendampingi istri selama masa persalinan dengan pemberian hak cuti selama dua hari dan dapat diberikan tambahan tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan pemberi kerja. Bagi suami yang mendampingi istri yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti dua hari.

Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) ’92, Endang Setiowati, menilai aturan ini bisa menjadi bumerang bagi perempuan pekerja. Bisa jadi, perusahaan tidak lagi melirik perempuan untuk direkrut.

Advertisement

“Kalau bicara persoalan cuti melahirkan hingga enam bulan itu secara logika semua pasti senang, tapi di sisi lain ini jadi bumerang. Jadi acuan dan aturannya perlu disosialisasikan lagi, kalau benar kebutuhan atas pekerja perempuan pasti terancam,” terang Endang saat dihubungi Solopos.com, Minggu (9/6/2024).

Karena, lanjut dia, hal ini tentu menjadi kontra produktif terhadap perusahaan. Apalagi, menurut dia, ketentuan cuti melahirkan selama tiga bulan saja belum diterapkan secara maksimal. Banyak perempuan pekerja yang tidak mendapatkan hak mereka saat cuti melahirkan.

Dia juga menyebut banyak perempuan pekerja yang tidak menggunakan cuti haid.

Advertisement

Padahal mayoritas perempuan juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan upah minimum di Solo Rp2,25 juta, menurut Endang, rumah tangga memerlukan dobel pendapatan untuk memenuhi beragam kebutuhan yang layak.

Wakil Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Solo, Sri Saptono Basuki, menilai RUU KIA bisa jadi berimbas pada perubahan strategi terkait rekrutmen tenaga kerja. Menurut dia, peran perempuan dalam bekerja menjadi terkondisi akibat aturan itu.

Tidak hanya berimbas kepada industri besar, namun menurutnya aturan itu juga akan berdampak pada industri kecil dan menengah.

Advertisement

“Repot, ini jelas nambah cost [biaya] dan juga penyesuaian administrasi. Kalau dulu tiga bulan, 1,5 sebulan dan sesudah, sekarang empat bulan bayar full [penuh] dan bulan bulan berikutnya 75%. Bayangkan kalau padat karya dan mayoritas wanita. Tentunya harus ada backup [cadangan] tenaga kerja agar produktivitas tetap terjaga,” terang Basuki, Senin (10/6/2024).

Sementara itu, realita saat ini masih ada pekerja perempuan yang belum mendapatkan hak cuti melahirkan. Hal ini berdasarkan survei perusahaan riset, Populix berjudul Women’s Equality in the Workplace dalam laman populix.co. Survei dilakukan kepada 424 responden perempuan.

Mayoritas responden adalah generasi Zenial (Gen Z) dan milenial dari kelompok menengah ke atas yang rata-rata bekerja di Pulau Jawa. Ada beberapa potret dan perlakuan diskriminatif bagi pekerja perempuan yang tergambar dalam survei tersebut.

Sebanyak 55% responden mengaku mengalami pengalaman tidak menyenangkan, dan 45% responden mengaku tidak mengalami. Pengalaman tidak menyenangkan bagi pekerja perempuan, meliputi perbedaan upah (48%), catcalling (40%), tidak dapat cuti haid (27%), tidak ada kesempatan promosi jabatan (25%), tidak ada fasilitas ruang pemompaan bagi ibu menyusui di kantor (10%), dan tidak dapat cuti melahirkan (5%).

Perbedaan upah antara lelaki dan perempuan juga tergambar dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk Booklet Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2023. Rata-rata upah pekerja di Indonesia sebesar Rp2,94 juta. Rata-rata upah pekerja laki-laki lebih tinggi yaitu Rp3,23 juta dan upah pekerja perempuan hanya Rp2,42 juta.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif