SOLOPOS.COM - Ilustrasi PHK massal.(Freepik).

Solopos.com, SOLO — Jawa Tengah menjadi provinsi nomor tiga tertinggi tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2023 setelah Jawa Barat dan Banten. Sedikitnya ada 9.435 pekerja yang terkena PHK dalam periode tersebut.

Hal ini mengacu pada unggahan akun Instagram, @dataindonesia_id, yang diakses Solopos.com, pada Selasa (30/1/2024). Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 63.806 orang pada 2023.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Jumlah tersebut meningkat hingga 154,07% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 25.114 orang. Menurut wilayahnya, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah korban PHK terbanyak pada 2023, yaitu 19.222 orang.

Jumlahnya setara dengan 30,13% dari total korban PHK secara nasional. Posisinya diikuti Banten dengan 11.140 orang yang menjadi korban PHK pada sepanjang tahun lalu. Kemudian, korban PHK di Jawa Tengah dilaporkan sebanyak 9.435 orang.

Wakil Sekretaris Apindo Kota Solo, Sri Saptono Basuki menyebut kondisi geopolitik, lesunya pasar, dan perlambatan ekonomi atau stagflasi menjadi salah satu penyebab adanya PHK. Dengan adanya kondisi tersebut, menurut dia belum mendorong pertumbuhan di beberapa usaha.

“Apakah badai PHK akan terjadi [tahun ini]? Mungin. Hal ini tergantung banyak hal. Paling utama, daya saing dalam berkompetisi di market baik lokal maupun global,” ujar Basuki saat dihubungi, pada Selasa.

Lebih lanjut Basuki menjelaskan PHK berdampak di keberlanjutan di dunia usaha, yang bisa mengalami kemunduran. “Bisa kehilangan market, tutup, bahkan beralih usaha. Ini tidak baik bagi ekonomi kita, karena akan banyak pengangguran,” kata dia.

Basuki menguraikan di Soloraya, tentu ada pengurangan jam kerja sehingga ada tenaga kerja dengan jam kerja yang tidak maksimal yang bisa berujung ke arah PHK. Sebab, lanjut Basuki, utilitas tidak terpenuhi dan tidak mampu secara ekonomi dalam menjalankan bisnisnya.

Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) ’92, Endang Setiowati, menyebut di anggota serikat pekerja di tempatnya tidak ada laporan PHK sepihak dari perusahaan. Namun banyak pekerja yang juga mengundurkan diri karena perkembangan industri digital.

Menurut Endang banyak pekerja anak muda yang kurang meminati pekerjaan di sektor industri formal. Endang memperkirakan angka PHK di Jawa Tengah yang cukup tinggi karena dunia usaha masih mencoba pulih seusai pandemi Covid-19.

Namun, harus diperhatikan industri di sektor apa yang mengalami PHK paling besar. Banyak angkatan kerja anak muda, yang memilih untuk bekerja di sektor informal, misalnya menjadi pekerja lepas, kreator konten, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan lain-lain.

Endang menyebut banyak anak muda yang terjun di sektor UMKM karena pola pemasaran produk UMKM yang serba digital dan mudah. Serta, lanjut dia, pendapatan yang mereka terima kadangkala lebih besar dari pekerja pabrik.

Namun yang perlu dipertimbangkan, adalah jaminan kerja baik dari jaminan kesehatan dan jaminan kesehatan. “Orang yang bekerja di sektor informal itu kan juga rentan. Sedangkan di formal seharusnya sudah wajib diberikan oleh perusahaan,” papar dia.

Oleh sebab itu, bagi para pekerja di sektor informal harus memikirkan asuransi atau jaminan karena bisa mendaftarkan secara mandiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya