SOLOPOS.COM - Ilustrasi rempah pala. (Freepik)

Solopos.com, JOGJA – Peluang ekspor komoditas rempah-rempah Indonesia masih menjanjikan karena pasar herbal dan rempah-rempah kering dunia diprediksi terus meningkat di masa depan.

“Pangsa pasarnya itu diperkirakan ada 8,4 miliar dolar pada akhir 2028,” kata pakar Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Djagal Wiseso Marseno dalam keterangannya di Jogja, Kamis (22/2/2024) seperti dilansir Antaranews.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Menurut dia, rempah-rempah masih menjadi komoditas andalan yang diekspor Indonesia terbukti dengan tingginya perdagangan lada, cengkih, pala, hingga kayu manis ke negara-negara Eropa.

Kekayaan komoditas rempah, kata Djagal, juga berpotensi mendukung ketahanan pangan Indonesia lebih kuat dibanding negara lain.

Menurut dia, sejak berabad-abad lalu, Indonesia memiliki potensi sumber daya yang melimpah termasuk keragaman budaya dan rempah-rempah menjadi daya tarik tersendiri di mata dunia.

Karena itu, potensi tersebut perlu dikembangkan agar mampu menjadi nilai jual sekaligus fondasi ketahanan pangan nasional. Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan Negara ASEAN, dia menyebut Indonesia masih menduduki peringkat empat di bawah Vietnam.

Padahal, dengan kondisi geografis Indonesia yang menguntungkan seharusnya mampu mendongkrak ketahanan pangan nasional.

“Itu menurut indeks global. Rempah-rempah ini tumbuh dengan mudah di negara tropis, perawatan dan ketahanannya juga mudah. Mudah diusahakan dengan skala kecil dan skala besar,” kata dia.

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM Prof Supriyadi menambahkan selain rempah-rempah,, “stinky beans” atau kacang-kacangan dengan bau menyengat seperti petai dan jengkol juga memiliki potensi ekspor tinggi.

Menurut dia, tanaman petai dan jengkol tumbuh subur di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dan umumnya pada lahan yang dimiliki warga secara mikro dan menyebar, tidak dalam satu lahan yang besar.

“Proses produksi dan distribusi perdagangan petai ini masih kurang baik. Pengangkutan dilakukan besar-besaran, ditumpuk, untuk menghemat biaya. Padahal, kalau diperhatikan petai setelah dipanen masih melakukan respirasi, dan ini berpengaruh terhadap kualitas petai tersebut,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya