SOLOPOS.COM - Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan. (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo)

Solopos.com, SOLO–Kalangan pengusaha meminta pemerintah harus hadir untuk memperkuat produk dalam negeri seiring maraknya produk impor di Indonesia.

Produk impor di Indonesia juga menjadi sorotan Komisi Pengawas Persainagan Usaha (KPPU). Anggota KPPU, Eugenia Mardanugraha, menguraikan masifnya pertumbuhan platform lokapasar berpengaruh pada peningkatan penetrasi produk impor di Indonesia dengan harga yang relatif rendah.

Promosi Tingkatkan Konektivitas Data Center, Telin dan SingTel Kembangkan SKKL

“Hal ini tentunya menjadi tantangan besar bagi pelaku usaha dalam negeri dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lantaran harus bersaing dengan harga dan kualitas produk asing,” kata Eugenia, dalam siaran pers belum lama ini.

Sebagai upaya memitigasi adanya kompleksitas persaingan yang dapat merugikan industri dalam negeri dan konsumen dalam jangka panjang, pihaknya menyelenggarakan diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertajuk Maraknya Produk Jadi Impor di Indonesia: Kesiapan dan Upaya Pengendaliannya.

Maraknya produk impor di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sektor, mulai dari elektronik, tekstil, hingga produk makanan dan minuman.

Data dari Dirjen Bea dan Cukai menunjukkan nilai impor Indonesia terus meningkat, terutama dari negara-negara seperti Tiongkok, Hong Kong, dan Jepang. Produk-produk dari negara-negara tersebut dikenal memiliki harga yang kompetitif dan kualitas yang baik, sehingga menarik minat konsumen Indonesia.

Eugenia mengatakan serbuan barang impor jadi dengan harga murah ke dalam perekonomian Indonesia merupakan fenomena persaingan yang terlalu sengit dan mengancam keberlangsungan pelaku usaha domestik.

“Dampak negatif akibat hal ini adalah menurunnya produksi dalam negeri, penurunan produk domestik bruto, dan pada akhirnya menurunkan kesejahteraan rakyat,” tambahnya.

Instrumen untuk Membendung Banjir Impor

Menurutnya, Pemerintah Indonesia memiliki berbagai instrumen untuk membendung banjirnya barang impor dengan harga yang sangat rendah, di antaranya dengan: Bea Masuk, Bea Masuk Anti-Dumping [BMAD], Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), Persetujuan Impor, Standar Mutu Nasional, Kuota Impor, dan sebagainya.

“Namun berbagai instrumen tersebut belum cukup untuk membendung masuknya barang impor dengan harga murah,” jelas Eugenia.

Merespons hal tersebut, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah (Jateng), Liliek Setiawan, menyatakan sudah sewajarnya dan seharusnya pemerintah hadir dalam membela kepentingan para pelaku usaha dalam negeri, khususnya untuk pelaku UMKM.

Hal itu karena karena justru di tangan UMKM porsi terbesar pembelanjaan konsumsi dalam negeri yang menyumbang pertumbuhan perekonomian nasional terjadi, bukan di ranah para pelaku besar maupun segelintir importir umum yang bahkan tidak memiliki cukup efek ekonomi karena tidak memiliki jumlah karyawan yang banyak.

“Terkait dengan kekalahan dalam persaingan harga perlu dikaji secara comprehensive bersama dengan lembaga maupun kementerian terkait. Dalam hal ini Karena produsen dalam negeri di ranah UMKM tidak mungkin bisa bersaing harga dengan pengusaha besar yang memanfaatkan fasilitas pembebasan pajak [komponen impor tujuan ekspor), selisih pajak 11% ini terjadi di awal pembelian bahan baku,” kata dia pada Rabu (12/6/2024).

Relaksasi impor dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor dianggap bisa memperburuk kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Secara nasional, utilisasi industri TPT di kisaran 40% hingga 50%. Dengan kondisi, ini menurut Liliek muncul kekhawatiran meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dilansir dari Bisnis.com, gelombang PHK industri tekstil dan produk tekstil TPT masih terjadi sepanjang awal 2024. Hal ini ditengarai pesanan tekstil yang masih lemah sejak 2022 lalu.

Berdasarkan laporan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) tercatat sebanyak 10.800 pekerja tekstil kena PHK dari lima pabrik pada periode Januari-Mei 2024.

Tidak Ada Order Sama Sekali

Presiden KSPN Ristadi mengatakan pesanan tekstil di pabrik lokal masih lemah, bahkan ada pabrik yang akhirnya tutup karena tidak ada order sama sekali. Tak hanya lokal, pasar ekspor pun masih dalam tren menurun.

Secara rinci, Ristadi memberikan data pabrik yang tutup dan melakukan PHK awal 2024, yaitu PT Sai Apparel di Semarang tutup dan PHK 8.000 pekerja.

Lalu, PT Sinar Panca Jaya di Semarang melakukan efisiensi sebanyak 400 pekerja. Selanjutnya, PT Pulomas Bandung memangkas pekerja 100 orang, PT Alenatex Bandung tutup dan mem-PHK 700 pekerja, serta PT Kusuma Grup Karanganyar di Jawa Tengah tutup dan melakukan PHK 1.600 pekerja.

Penurunan kinerja industri TPT tercermin dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Berita Resmi Statistik No. 38/05/Th. XXVII, 15 Mei 2024.

Pada April 2024, nilai ekspor Indonesia mencapai US$19,62 miliar, mengalami penurunan 12,97% secara bulanan, namun secara tahunan mengalami kenaikan 1,72%. Penyumbang utama penurunan ekspor secara bulanan dan peningkatan nilai ekspor secara tahunan adalah ekspor industri pengolahan.

Nilai impor mencapai US$16,06 miliar, mengalami penurunan 10,60% secara bulanan, namun mengalami peningkatan 4,62% secara tahunan. Penyumbang utama penurunan nilai impor secara bulanan dan peningkatan nilai impor secara tahunan adalah impor bahan baku penolong.

Pada April 2024, neraca perdagangan barang Indonesia kembali mengalami surplus sebesar US$3,56 miliar. Surplus ini lebih rendah dibandingkan dengan surplus neraca perdagangan bulan lalu dan bulan yang sama pada 2023.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya