SOLOPOS.COM - Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan. (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo)

Solopos.com, SOLO—Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, Liliek Setiawan, menilai perlu dukungan pemerintah dalam hal regulasi untuk memperkuat industri tekstil.

Liliek menguraikan potensi dan daya saing industri tekstil Indonesia seharusnya tidak kalah dengan Tiongkok. Industri tekstil di Indonesia secara umum, memiliki sumber daya manusia (SDM) yang terdidik, terampil, dan terjangkau.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Menurutnya, untuk mendukung perkembangan industri tekstil, perlu untuk melakukan sinkronisasi kepentingan di setiap lembaga pemerintah atau kementerian agar tidak saling bertentangan.

Misalnya pelarangan terbatas (lartas) impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Pengaturan Impor. Pihaknya mendorong aturan ini memang harus segera diberlakukan.

Namun ternyata, ada komponen yang menganggu industri di luar tekstil. Menurut Liliek, hal inilah yang harus diharmonisasikan agar industri bisa maksimal. Sebab, pihaknya menilai industri tekstil di Indonesia sudah sangat efisien misalnya dari struktur biaya.

“Jadi kenapa kita masih tetap kalah, karena lawan kita memang bukan industri tekstilnya saja. Tetapi industri tekstil yang di-support penuh oleh pemerintah mereka dalam hal ini kita sampaikan aja dari Tiongkok,” terang Liliek di sela-sela acara Indonesia Apparel Production (IAP) Expo 2024 yang digelar di Diamond Solo Convention Center, pada Kamis (29/2/2023).

“Kebijakan-kebijakan pemerintah di Tiongkok itu sangat mendukung industri tekstil. Kenapa saya utarakan begitu? Karena sebetulnya kalau secara biaya di Indonesia jauh lebih murah dari biaya sumber daya manusia, biaya apa energi kita jauh lebih murah. Banyak orang salah mengira kita enggak efisien,” tambahnya.

Liliek menyebut dari segi mesin, warna, dan bahan baku material yang dibeli dari Tiongkok sebetulnya mampu dibeli di dalam negeri. Dia menambahkan saat ini pemerintah getol mendorong hilirisasi, namun menurutnya industri tekstil sejak dulu telah berproses dari hulu ke hilir.

“Kenapa justru industri yang sudah sampai ke hilir ini tidak dimaksimalkan? Kalau istilahnya ini, kalau kendaraan sudah jadi semua sudah komplet tinggal di gaspol, kan begitu,” kata dia.

Mengutip Bisnis.com, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyoroti berkurangnya produktivitas industri hulu tekstil akibat gempuran produk impor serat dan filamen sintetis.

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) diketahui kini memiliki utilitas di bawah angka 50 persen, baik sektor hulu maupun hilir. Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan Kemenperin telah menerima laporan dari pengusaha mengenai berkurangnya produktivitas sektor hulu tekstil.

Hal ini disebabkan gempuran produk impor sektor ini, salah satunya serat dan filamen sintetis. Menurut Agus, sektor hulu yang banyak mengandalkan pemasaran di pasar domestik ini menjadi salah satu penyebab porak porandanya pertahanan sektor hulu tekstil.

Hal ini, lanjutnya, berlanjut pada pengurangan tenaga kerja yang cukup signifikan baik di sektor hulu maupun hilir industri ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya