SOLOPOS.COM - Ilustrasi mahasiswa yang menempuh bangku kuliah. (Freepik).

Solopos.com, SOLO — Kota Solo menjadi salah satu rujukan mahasiswa luar kota untuk melanjutkan studi. Tentu, selain biaya kuliah, ada beberapa komponen biaya hidup yang harus dipertimbangkan.

Padahal biaya kuliah saja menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Banyak mahasiswa yang memilih serba irit dan menunggu uang saku bulan berikutnya.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Bahkan biaya hidup seringkali lebih mahal dibandingkan biaya kuliah yang harus dibayarkan. Tak jarang juga, mahasiswa harus mengajukan penundaan pembayaran uang kuliah karena impitan ekonomi.

Salah satunya diungkapkan oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Muhammad Aldi Setyawan, 23, saat diitemui Solopos.com, pada Kamis (1/2/2024).

Warga Wonogiri ini mengaku pernah mengajukan permohonan penundaan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) saat pandemi Covid-19 lalu karena kesulitan ekonomi keluarga.

“Jadi bayar UKT 50% dulu sesuai jadwal, 50% lagi di dua sampai tiga bulan setelahnya,” ujar Aldi.

Dia juga mengakuan keringanan UKT dengan syarat dari keluarga tidak mampu. Jumlah UKT yang harus dia bayarkan tiap semester sebesar Rp2,1 juta dari nominal normal sebesar Rp3 juta.

Karena diterima dijalur seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) pada 2018, dia tidak harus membayar sumbangan pengembangan institusi.

Selain UKT, dia harus mengeluarkan pos pengeluaran untuk membayar indekos. Awalnya dia memilih indekos seharga Rp5,1 juta selama empat tahun.

Dia kemudian pindah ke indekos lain dengan biaya Rp800.000 hingga Rp1 juta setiap bulan. Aldi memutuskan untuk berpindah indekos karena mencari tempat yang lebih luas.

Untuk uang saku, Aldi menerima sebanyak Rp250.000 tiap pekan. Uang ini dia alokasikan untuk makan, transportasi, dan nongkrong di coffee shop. Dia memasang bujet Rp20.000 hingga Rp30.000 dalam sehari untuk makan.

Uang tersebut kadangkala tidak cukup untuk biaya hidupnya. Kadang ia tergoda untuk menonton film di bioskop dengan harga tidak yang tidak murah. Apalagi banyak film favoritnya dari Marvel yang bergantian diputar.

“Kalau anggaran kurang ya mengurangi bujet makan, dan enggak nongkrong. Cara menghemat ya makan di warung kecil harga Rp5.000 sampai Rp7.000 per porsi,” kata dia.

Aldi memilih bekerja sebagai freelancer untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia mengaku tidak tertarik menggunakan fitur pinjaman online (pinjol).

Namun, untuk berburu diskon makan di platform online delivery food, dia mengaktifkan fitur paylater. Dari uraian Aldi, bujet tempat tinggal atau indekos memakan porsi terbesar di biaya hidupnya sebagai mahasiswa.

Senada dengan Aldi, mahasiswa Fakultas Pendidikan dan Ilmu Keguruan (FKIP) UNS Solo, Layla Kurniawati, 23, mengeluarkan biaya paling banyak untuk indekos.

Dia menghabiskan kurang lebih Rp11 juta selama setahun. Nilai tersebut belum termasuk uang listrik yang harus dibayarkan terpisah tiap bulan.

Biaya kuliahnya jauh lebih murah, dia hanya membayar UKT sebesar Rp1 juta per semester. Total hingga dia wisuda, menghabiskan Rp8 juta untuk biaya kuliah.

Dia menerima uang saku sebesar Rp250.000 tiap pekan, yang menurutnya cukup karena dengan Rp10.000 cukup untuk makan sekali di Kota Solo. “Cukup, Rp10.000 bisa dapat nasi dan ayam,” ujarnya.

Hal berbeda diungkapkan oleh mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo, Selvi Novia, 20. Awal masuk kuliah pada 2021 dia harus membayarkan uang kuliah kurang lebih Rp18 juta.

Biasanya dia mengambil 24 satuan kredit semester (SKS) dengan biaya sekitar Rp6.888.000 per semester. Besaran ini berubah tergantung SKS yang dia ambil tiap semester. Berbeda dengan UKT yang nilainya tetap.

Warga Pati ini juga harus membayar uang indekos Rp500.000-Rp600.000 setiap bulan. Dia juga menerima uang saku senilai Rp300.000 hingga Rp500.000 tiap pekan khusus untuk biaya makan dan transportasi.

Kebutuhan lainnya, seperti sabun, belanja bulanan, dia memperoleh uang saku terpisah senilai Rp300.000.  Selain uang saku dan uang kebutuhan lain, dia juga menerima Rp500.000 khusus untuk membeli kebutuhan skincare dalam sebulan.

Uang kuliah yang harus dibayarkan Selvi mengalami kenaikan dibandingkan mahasiswa FH UMS lainnya, Khofifah Kusuma, 21. Saat masuk pada 2020 lalu, Khofifah harus uang pengembangan senilai Rp14,5 juta.



Angka ini naik lebih dari Rp3 juta dalam setahun. Uang SKS yang harus dibayarkan Selvi juga lebih mahal dibandingkan Khofifah. Untuk 24 SKS, Khofifah membayar Rp6.720.000 per semester.

Selain itu, Khofifah juga membayar uang indekos Rp750.000 dan uang listrik Rp50.000 per bulan. Sementara untuk uang saku, dia menerima Rp2 juta sebulan untuk semua kebutuhan, bahkan untuk nongkrong di coffee  shop beberapa kali.

Anggaran ngopi mahasiswa FH UMS lainnya, Fery bisa mencapai lebih dari Rp200.000. Semakin sering dia datang ke coffee shop, uang saku senilai Rp1,2 juta miliknya terpotong banyak. Dia memilih untuk makan murah maksimal Rp30.000 sehari untuk menekan bujet.

Biaya yang dibutuhkan untuk mengenyam pendidikan di Indonesia semakin mahal seiring tingginya jenjang yang ditempuh. Hal tersebut mengacu pada data yang dihimpun Solopos.com, dari dataindonesia.id, pada Kamis.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), biaya yang dibutuhkan untuk menempuh pendidikan sekolah dasar (SD) atau sederajat sebesar Rp3,24 juta.

Biaya itu melonjak hingga mencapai Rp14,47 juta untuk tingkat perguruan tinggi. Jumlah itu naik hampir dua kali lipat dibandingkan dari jenjang pendidikan. Kenaikan tersebut berbanding terbalik dengan tingkat penyelesaian pendidikan menurut jenjang.

Berdasarkan data BPS, hanya 11,25% pemuda di Indonesia yang telah menamatkan perguruan tinggi pada 2023. Angkanya meningkat 0,28% poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 10,97%.

Data tersebut mencerminkan biaya perguruan tinggi lebih mahal dibandingkan jenjang lainnya, disusul tingkat pendidikan penyelesaian di jenjang perguruan tinggi lebih rendah dibandingkan jenjang lainnya.

Kendati demikian, mayoritas warga Indonesia ingin anaknya melanjutkan jenjang pendidikan sarjana setelah lulus dari SMA/SMK. Indikator Politik Indonesia melakukan survei ini terhadap 1.520 responden berusia 17 tahun atau lebih di seluruh Indonesia pada 7-12 April 2022. Sebanyak oleh 82,1% responden ingin anak mereka melanjutkan jenjang S1.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya