SOLOPOS.COM - Wedangan Mas Warmin yang tayang di Espos Live.

Solopos.com, SOLO–Sate buntel merupakan menu kuliner yang cukup populer di Solo. Selain rasanya yang menggoda, ada cerita menarik di balik munculnya menu tersebut.

Solo sebagai kota kuliner menyimpan beragam menu kuliner. Mulai yang kekinian hingga yang bisa dikatakan legenda karena mampu bertahan sejak zaman lampau dan tetap dikenal hingga saat ini. Menariknya lagi, ternyata menu-menu itu juga menyimpan cerita atau sejarah tersendiri. Bukan hanya mengenai unsur-unsur bahan bakunya, tapi juga mengenai sosial budaya masyarakat.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Menu sate buntel misalnya, yang merupakan menu sate kambing dengan sajian sedikit berbeda. Dimana daging kambing itu dicincang lembut kemudian dibungkus lemak tipis pada tusuk sate, kemudian dibakar seperti sate pada umumnya. Kenapa bisa muncul jenis sate tersebut?

Baca Juga: Wedangan Mas Warmin Espos Live: Kuliner Jadi Bisnis Menarik di Solo

Sejarawan Solo yang juga pemerhati kuliner, Heri Priyatmoko, mengatakan munculnya sate buntel diperkirakan sejak sekitar 1950. “Ini terlihat jejaknya paling tidak di Tambak Segaran,” kata dia dalam episode perdana siniar Wedangan Mas Warmin, yang disiarkan di Youtube Espos Live, Selasa (19/4/2022).

Dia mengatakan menu itu muncul tidak lain karena kreativitas dari para pedagang zaman dulu untuk menjaga budaya atau gaya hidup para priayi zaman dulu. Banyak kalangan priayi yang gemar menyantap hidangan sate kambing. Namun seiring bertambahnya usia, kegemaran para priayi itu harus dihadapkan dengan kendala mengonsumsi daging yang alot. Sebab giginya yang mungkin juga sudah mulai ompong atau tidak kuat lagi.

“Maka muncul ide daging itu digiling, dibuntel dengan gajih atau lemak tipis. Dengan begitu gigi para priayi tetap bisa menikmati sate,” jelas dia.

Selain sate buntel, ada juga cerita sate kere. Dimana dalam seporsi sate kere, yang terbuat dari tempe gembus atau tempe berbahan ampas tahu kemudian dicampur juga dengan jerohan sapi, ternyata ada cerita perjuangan rakyat kecil zaman dulu di dalamnya.

“Menu itu muncul karena pergulatan masyarakat kecil yang tidak bisa menyantap sate daging. Kemudian dengan kreativitasnya mereka membuat sate kere dengan bahan gembus kemudian jerohan yang itu merupakan bahan buangan,” jelas dia. Namun kini, menu sate kere menjadi makanan yang cukup dikenal di Solo.

Baca Juga: Wedangan Mas Warmin Espos Live: Dari Kuliner untuk Perekonomian Solo

Cerita hampir sama juga terjadi pada menu tengkleng. Sekarang itu bisa menjadi makanan elit. Itu juga terjadi pada tengkleng. Keterbatasan masyarakat kecil untuk bisa menikmati sajian daging, membuat mereka berkreasi, meski hanya memanfaatkan bahan-bahan yang merupakan buangan, yakni tulang yang masih ada sedikit daging yang menempel.

Heri mengatakan sejak dulu Solo sudah terkenal dengan kulinernya. Ketika orang datang ke Solo, maka yang dilakukan adalah berburu kuliner. Solo menawarkan banyak ragam kuliner mulai makanan ringan sampai yang berat. Dari yang halal hingga yang haram. “Dan itu benar-benar ada konsumennya. Keragaman ini bisa kita pahami sebagai pelangi di meja makan, yakni keragaman makanan yang tidak tercipta hanya kemarin sore. Bahkan kalau ditarik dari era kolonial itu sudah ada,” kata dia.

Kodisi tersebut terbentuk tidak lepas dari komposisi dan karakter masyarakat Solo yang juga beragam. Dia mengatakan kondisi itu berbeda dengan Yogyakarta. Menurutnya karakter masyarakat di Solo adalah masyarakat yang senang jajan ngiras atau makan di tempat sehingga muncul istilah keplek ilat atau memanjakan lidah. Sedangkan di Yogyakarta ada istilah pawon anget karena sederhana, hemat dan lebih suka memasak di rumah.

Di samping itu Solo juga kota multi kultural yang secara tidak langsung mempengaruhi keragaman kulinernya.

Menurutnya cerita atau histori tersebut perlu dijaga untuk lebih menguatkan Solo sebagai kota kuliner. “Perlu kesadaran narasi historis, sehingga saat berkuliner bukan hanya perut yang kenyang, tapi ada informasi atau wawasan yang didapatkan,” jelas dia.

Kepala Perwakilan BI Solo, Nugroho Joko Prastowo, juga sepakat perlunya menjaga stori kuliner Solo dan menyebarluaskannya. Terlebih di era digital ini, ada kebiasaan baru masyarakat yang gemar menggunggah foto, termasuk foto kuliner. “Kalau kuliner itu ada stori, ada pengalaman, itu bisa dijual di dalam dunia digital. Ada istilahnya instagramable,” kata dia.

Selain itu atraksi untuk menunjang pengalaman masyarakat juga tidak salah untuk bisa ditampilkan. “Misalnya jenang, jangan-jangan orang bukan hanya ingin tahu rasanya, tapi juga ingin mendapatkan pengalaman, cara membuatnya seperti apa untuk difoto dan diunggah,” lanjut dia.

Secara tidak langsung hal itu akan mendukung dan menguatkan promosi kuliner di Solo. Semakin banyak cerita, semakin banyak pengalaman yang ditawarkan, maka diharapkan orang akan semakin banyak yang tertarik singgah ke Solo dalam beberapa hari untuk menikmati pengalaman itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya