SOLOPOS.COM - Ilustrasi melakukan spa untuk perawatan kaki. (Freepik)

Solopos.com, JAKARTA — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) buka suara ihwal kenaikan besaran pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, besaran pajak hiburan yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi. Dia mengusulkan agar kenaikan pajak merujuk pada besaran angka inflasi di masing-masing daerah.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

“Paling tidak kenaikannya merujuk pada besaran angka inflasi di masing-masing kota/kabupaten,” kata Tulus kepada Bisnis, Selasa (16/1/2024).

Dia juga mengkritisi soal usaha Sanitas Per Aquam/pijat air atau SPA yang dikenakan pajak hiburan. Menurut dia, usaha SPA tidak pantas dikenakan pajak yang besar.

Merujuk pada Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, usaha SPA masuk dalam kategori jasa kesenian dan hiburan.

Tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau SPA, ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

“Masa orang mau sehat dikenakan pajak tinggi,” ujarnya.

Di sisi lain, dia berharap pemerintah dapat menunda pemberlakuan pajak hiburan ini mengingat kondisi ekonomi nasional yang belum pulih pasca dihantam pandemi Covid-19.

Selain itu, pemerintah diminta untuk menjelaskan secara adil dan transparan alasan ditetapkannya pajak maksimal 75% untuk jasa hiburan.

“Apakah ini murni untuk pendapatan [negara] atau tujuan lain,” pungkasnya.

Keputusan pemerintah menetapkan pajak hiburan maksimal 75% mendapat penolakan dari sejumlah pelaku usaha industri jasa hiburan.

Ketua Asosiasi SPA Terapis Indonesia (Asti) Mohammad Asyhadi mengatakan, kenaikan pajak hiburan berpotensi mematikan usaha SPA di seluruh Indonesia, lantaran harga jasa SPA otomatis naik sehingga menurunkan minat masyarakat melakukan terapi kesehatan di SPA.

Pelaku usaha juga akan semakin terbebani dengan pajak yang besar karena selain pajak PBJT 40%, pelaku usaha juga tetap membayar pajak PPN sebesar 11%, pajak penghasilan badan (PPh) 25%, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5%-35%, tergantung penghasilan kena pajak atau PKP.

Lantaran dalam penyusunannya pemerintah tak melibatkan para pelaku usaha dan dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945, Asti telah mengajukan judicial review atau pengujian yudisial ke Mahkamah Konstitusi.

“Kami sepakat untuk melakukan judicial review sehingga pada 3 Januari kami ke MK, kemudian diterima secara resmi itu 5 Januari 2024,” kata Didi dalam konferensi pers di Taman Sari Royal Heritage SPA, Kamis (11/1/2024).

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Tarif Pajak Hiburan Dianggap Ugal-ugalan, Usaha SPA Tak Layak Masuk

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya