SOLOPOS.COM - Ilustrasi anak muda Indonesia. (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Wakil Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Solo, Sri Saptono Basuki, mengakui turnover rate pekerja muda memang tinggi.

Menurut dia hal ini disebabkan budaya instan yang dominan. Basuki juga menyebut beberapa risiko turn over rate yang tinggi.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

“Mungkin di sekolah pelajaran [berproses] tidak tuntas diajarkan, mereka penginnya jadi bos. Tidak mau capai tapi gaji tinggi. Bahwa jenjang karir itu ada. Penginnya semua serba cepat instan. Turn over tinggi, akibatnya mengurangi kualitas, mengurangi produktivitas, harus training ulang pekerja baru, biaya SDM tambah, kapasitas produksi turun, dan daya saing rendah,” terang Basuki saat dihubungi Solopos.com, pada Rabu.

Basuki menyebut pekerja Gen Z dan milenial bisa menjadi keuntungan, misalnya adaptif teknologi. Namun tantangannya, menurutnya adalah daya juang dan fokus sangat lemah.

Secara umum, tidak ada perbedaan dalam proses rekrutmen antargenerasi, namun proses pada induction training berbeda.

“Karena training based on hasil psikotes saat itu dan analisa kebutuhan tenaga kerja termasuk spesifikasi pekerjaan, kesesuaian skill knowledge dan attitude, dan seterusnya. Untuk pendidikan vokasi, misal SMK misal masih bisa linier dgn proses bisnis industri atau manufaktur.  Mungkin hanya perlu penambahan dan pengembangan softskill agar mereka match dengan dunia kerja. Karena budaya dunia pendidikan berbeda dengan budaya kerja/budaya suatu perusahaan,” terang dia.

Basuki menyebut beberapa perbedaan karakter pekerja Gen Z dan misalnya, terutama moral knowing, moral action, dan moral feeling yang dia nilai sangat rapuh.

Akibatnya mereka cenderung mager, individualis, acuh dengan interaksi sosial.

Gen Z dan milenial ini cenderung mereka tidak berpikir untuk memperbaiki kekurangan, tetapi lebih berpikir untuk mengembangkan kelebihannya.

Milenial dan Gen Z tidak menginginkan atasan yang suka memerintah dan mengontrol.

“Bagi milenial dan gen Z pekerjaan bukan hanya sekedar bekerja, tetapi bagian dari hidup mereka sehingga mereka secara umum cenderung tidak loyal,” ujarnya.

Selain itu, menurut Basuki hal ini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya keluarga juga memberikan kontribusi terhadap daya saing dan karakristik dari pekerja Gen Z dan milenial.

Sebelumnya, survei Populix bertajuk Working Trend Februari 2023 juga menyebut data yang sama.

Bagi milenial, bekerja lebih dari 5 tahun adalah waktu yang cukup untuk mempertimbangkan pekerjaan baru, sedangkan Gen Z menilai 1-2 tahun adalah waktu yang ideal.

Ada beberapa pertimbangan untuk berpindah ke pekerjaan baru. Misalnya, gaji lebih besar, bonus, posisi lebih baik, jarak kantor dengan rumah, dan reputasi perusahaan.

Salah satu kisah Gen Z dalam bekerja disampaikan Krisna Indra, 23. Rekor tercepatnya dalam bekerja adalah tiga hari sebelum akhirnya memilih resign. Pemuda Solo ini mengaku merasa ditipu oleh perusahaan.

Setelah lulus dari salah satu universitas swasta di Solo, Krisna mengaku mendapatkan undangan wawancara kerja, tidak ragu ia akhirnya menjalani proses rekrutmen dan diterima.

“Saya melamar tempat pertama di perusahaan pialang, jadi saya merasa tertipu. Soalnya di brosur lowongannya sebagai staf HRD. Tapi ketika bergabung di sana, ternyata yang dijanjikan di brosur tidak ada. Saya menjadi staf marketing, menurut saya itu penipuan ya. Saya kerja di sana juga enggak lama, sekitar tiga hari saya langsung resign,” terang Krisna saat ditemui Solopos.com, pada Rabu (24/1/2024).

Dia menolak posisi tersebut karena pekerjaan yang harus dilakukan cukup berat. Menurutnya pekerjaan tersebut membutuhkan relasi dan keahlian komunikasi yang luas yang kurang cocok dengannya.

Seusai pengalaman tersebut, Krisna kemudian melamar di salah satu perusahaan agency. Jobdesk yang harus dia lakukan sesuai apa yang ditawarkan, gaji dijanjikan sesuai upah minimum setempat.

Namun, dia merasa tuntutan pekerjaan di agency tersebut terlalu muluk-muluk, serta ketika tidak mencapai target gaji yang dia terima bakal dipotong. Setelah satu bulan bekerja di sana, dia memutuskan resign kembali.

Saat ini, hampir tiap hari Krisna menerima panggilan wawancara kerja. Dia mengaku memilih pekerjaan yang tidak menuntut sif kerja waktu malam.

Krisna masih harus menekuni hobinya yang juga menghasilkan pundi-pundi rupiah sebagai komika lokal.

Selain waktu kerja, Krisna mengaku juga mempertimbangkan rekan kerja yang suportif untuk pekerjaan yang bakal dia lakoni. Masalah gaji yang hanya sesuai upah minimum tidak menjadi masalah.



“Mungkin enak kerjaan pertama dikelilingi orang yang tidak toxic, suportif menurut saya kenyamanan. Saya memilih rekan kerja yang baik dibandingkan gaji yang baik untuk awal-awal,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya