SOLOPOS.COM - Ilustrasi uang gaji (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Sistem kontrak dan outsourcing membuat para pekerja memiliki harapan tips untuk menjadi karyawan tetap di perusahaan atau institusi. Mereka biasnaya digaji hanya mepet atau bahkan kurang dari upah minimum kabupaten/kota (UMK).

Alhasil mereka harus ekstra menarik ikat pinggang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti yang diungkapkan  Uswatun Nisa, 23, karyawan pabrik tekstil di Sukoharjo, Jawa Tengah. Semenjak lulus sekolah menengah kejuruan (SMK) pada 2018, ia memilih merantau untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Wanita asal Wonogiri ini, mengaku setelah lulus ia disalurkan dari pihak sekolah untuk bekerja di salah satu pabrik tekstil di Kota Jamu tersebut.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Sebagai pekerja pabrik, ia tidak mengharapkan gaji lebih dari UMK, karena di manapun ia bekerja gaji yang ia terima tetap sama. Alasannya berpindah-pindah pabrik dalam bekerja selain karena pengalaman, ia merasa mudah mendapatkan pekerjaan.

“Biasanya memakai sistem kontrak, misalnya kontrak awal selama dua tahun kemudian diperbarui. Sebelumnya, ada masa training selama tiga bulan sebelum meneken kontrak tersebut. Namun ada pula pabrik dengan sistem kontrak selama tiga bulan sekali,” jelasanya kepada Solopos.com, Senin.

Ia menuturkan besar harapannya diangkat jadi karyawan tetap, karena menurutnya lebih aman dari pemutusan hubungan kerja (PHK). Uswatun menjelaskan bahwa ada kemungkinan ia menjadi karyawan tetap, namun butuh masa kerja yang cukup lama.

Selain merasa aman dari ancaman PHK, menjadi karyawan tetap berarti ia tidak harus memperbarui kontrak, namun gaji karyawan tetap seingatnya tetap sama dengan sebelumnya, tidak lebih dari UMK.

Walaupun bergaji UMK sebesar Rp2.138.247, ia merasa cukup bersyukur karena bisa mendapatkan haknya untuk menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, dan juga mendapatkan premi asuransi. Setidaknya ada potongan dari gaji yang diterima dalam sebulan sebesar Rp100.000 untuk memenuhi hal ini.

Dengan gaji UMK ia merasa kadangkala cukup memenuhi kebutuhannya selama sebulan, namun ketika banyak kebutuhan yang bersifat mendadak gajinya tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut, terpaksa ia harus mengambil uang tabungannya.

“Ya tergantung situasi dan kondisi, ada kala cukup ada kala enggak,” ujar Nisa saat dihubungi Solopos.com pada Senin.

Kebutuhan yang ia harus keluarkan dalam sebulan, misalnya untuk indekos sebesar Rp350.000/bulan, untuk biaya transportasi paling tidak dalam sepekan ia membutuhkan Rp150.000/bulan, kemudian untuk makan ia mematok Rp10.000-Rp20.000/hari. Ia juga harus membayar cicilan sepeda motorn dan memberikan sedikit gajinya untuk orang tua di rumah.

Untuk meminimalisasi kebutuhan pangan sehari-harinya, ia memilih membawa beras dari rumah dan cukup membeli sayur untuk dimasak atau lauk, yang kadangkala tidak lebih dari Rp10.000/hari.

Dengan perincian pengeluaran gaji tersebut, ia memilih menunda lebih lama kebutuhan sekunder lainnya, misalnya untuk menganti handphone yang ia pakai sekarang karena telah lima tahun ia gunakan.

UMK Lebih Besar

Kisah lainnya dituturkan oleh Seli Dwi, 25. Wanita asal Wonogiri ini memilih merantau lebih jauh ke Cikarang, Jawa Barat, dengan pertimbangan UMK yang lebih besar dibandingkan bekerja di Soloraya, yaitu Rp5.137.575 per bulan. Ia juga bekerja dengan sistem alih daya atau outsourcing.

Seli selalu memperpanjang kontrak kerjanya setiap tiga bulan sekali, dan ia telah bekerja setahun ini. Setiap kontraknya habis ia selalu mendapatkan pesangon, dan selalu dipanggil kembali untuk menekan kontrak awal lagi, namun tidak pernah menjadi karyawan tetap. Ia menjelaskan ada kemungkinan ia bisa menjadi karyawan tetap, namun bergantung kebijakan perusahan.

Ia mengaku mulai merasa tidak aman dan nyaman karena bekerja dengan sistem outsourcing, karena merasa waswas tidak bisa memperpanjang kontraknya lagi, sehingga ia masih memiliki harapan untuk diangkat sebagai karyawan tetap.

“Harapan pasti ada, tapi cuma tipis,” ujar Seli.

Ia sendiri mengaku mendapatkan haknya sebagai peserta BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang dipotong dari gaji tiap bulannya.

Namun kadangkala ia merasa kerja yang harus ia lakukan dibandingkan gaji yang ia terima kurang sesuai, misalnya ketika libur yang tidak termasuk libur akhir pekan membuat dirinya digaji.

Seli mengaku ingin mencoba pekerjaan lainnya. Alumnus Universitas Islam Batik (Uniba) Solo ini menjelaskan capai bekerja jauh dari rumah. Ketika momen mudik ini ia mengaku menghabiskan lebih dari Rp1 juta untuk tiket bus pulang dan pergi.

Untuk biaya hidup di Cikarang, misalnya makan menurutnya tidak terlalu mahal, minimal Rp30.000 hingga Rp50.000 per hari. Sementara itu membayar sewa indekos sebesar Rp600.000/bulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya