SOLOPOS.COM - Pengunjung melihat-lihat pakaian bekas yang jajakan salah satu thrift store di Safe Festival Sragen, Kamis (1/9/2022). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo)

Solopos.com, JAKARTA – Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat salah satu penyebab penurunan permintaan produk garmen di Indonesia adalah maraknya penjualan baju bekas baik thrift maupun preloved.

Penasihat API Ade Sudrajat, yang juga pengusaha garmen ini mengaku tekanan terhadap industri garmen terjadi di tingkat lokal hingga global. Salah satu tekanan lokal adalah maraknya penjualan pakaian bekas di pasaran.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

“Di sisi lain, banjirnya barang-barang impor khususnya barang bekas  mendorong UMKM tidak bisa hidup, sangat marak dan sudah mulai menjadi tren, karena banyak shop semacam butik barang bekas, barang bekas ini dipilih merek tertentu dan dijual di butik, bahkan menjadi barang terhormat di masyarakat,” kata dia seperti dilansir dari Bisnis, Rabu (2/11/2022).

Padahal menurut Ade, secara hukum, penjualan barang bekas impor ini menyalahi aturan, tetapi tidak pernah ada tindakan serius dari pemerintah untuk memberantas penjualan barang ilegal ini. “Padahal faktanya barang bekas dilarang masuk ke Indonesia, sejak tahun 2000-an tapi masyarakat tidak berdaya, sehingga UMKM yang biasa menjadi tulang punggung saat krisis sekarang mereka kesulitan,” imbuhnya.

Baca Juga: Industri Tekstil Hadapi Ujian Berat, Gelombang PHK Massal Tak Terhindarkan

Selain itu, tekanan global pun kata Ade sudah sangat terasa di tengah meroketnya inflasi, krisis pangan dan energi di negara-negara Amerika dan Eropa. “Kondisi global lebih banyak disebabkan permintaan yang anjlok dari Eropa dan Amerika karena negara di Amerika dan Eropa alami inflasi. Ditambah krisis energi dan pangan di Eropa. Ini semua mengerucut pada mereka muter belanja masyarakatnya itu yang sifatnya primer, dan untuk saat ini yang primer adalah belanja energi karena memasuki musim dingin, mereka menahan pembelian akhirnya banyak supermarket yang tutup,” jelasnya.

Alhasil, Ade mencatat setidaknya ada 500.000 pekerja di Jawa Barat mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam 4-5 bulan terakhir. “Kalau Jabar saya kira hampir 500 ribuan [pekerja di-PHK], kalau nasional dulu itu jumlah pekerja 3,7 juta, sekarang mungkin tinggal 2 juta lebih, dalam kurun waktu 4-5 bulan ini,” jelasnya.

Baca Juga: Agenda Hari Ini: Solo Market Fest di Hall Tirtonadi, para Thrifters Merapat!

Untuk itu, dia menawarkan solusi kepada Pemerintah yang bisa dilakukan agar bisa menyelamatkan industri garmen tanah air sekaligus menekan angka PHK. Ade meminta pemerintah untuk membekukan PPN bahan baku garmen seperti kain dan benang sebagai stimulus agar bisa bersaing dengan harga barang preloved yang kini belum bisa diatasi pemerintah.

“Solusi yang kami tawarkan adalah, pertama adalah membekukan PPN paling sedikit 6 bulan – 1 tahun, sehingga PPN pembelian kain dan benang semua dihilangkan supaya lebih murah dan bisa bersaing dengan baju bekas, seperti halnya pernah dilakukan ke industri otomotif,” katanya.

Baca Juga: Festival Awul-Awul di Hall Terminal Tirtonadi Solo Geber Diskon, Pembeli Kalap

Selain itu, dia meminta OJK bisa memperpanjang restrukturisasi paling tidak hingga akhir 2023 kepada industri garmen agar bisa memperpanjang nafas menghadapi 2023 yang disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai kiamat. “Jadi kalau Sri Mulyani memperingatkan 2023 akan terjadi kiamat, kita sudah kiamat dari awal,” jelasnya.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul Pengusaha Jabar Sebut Perdagangan Pakaian Bekas Hempaskan Industri Tekstil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya