SOLOPOS.COM - Ilustrasi pinjaman online (pinjol). (Istimewa/Freepik)

Solopos.com, SOLO — Pengamat menyebut warga Solo yang mengakses pinjaman online (pinjol) dan paylater untuk memenuhi kebutuhan Lebaran merupakan dampak dari tekanan sosial. Selain itu, kemudahan yang ditawarkan pinjol dan paylater semestinya juga diikuti kebijakan dalam mengontrol pengeluaran.

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, kepada Solopos.com Minggu (9/4/2023), mengatakan fenomena banyaknya pengguna pinjol dan paylater untuk menyambut Lebaran tidak lepas dari konsumsi berlebih. Ia menyebut, konsumsi berlebih ini karena merupakan budaya yang dianggap benar oleh masyarakat.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

“Untuk kasus ini, ada istilah cultural over consumption atau ritual over consumption, di saat Lebaran konsumsi berlebih itu meningkat dengan pembenaran bahwa ini suatu yang baik secara budaya. Ini adalah sebuah kehormatan atau kesantunan dalam bermasyarakat,” ulas Drajat.

Drajat melanjutkan, konsumsi berlebih ini tidak diimbangi dengan pendapatan atau aset yang dimiliki sehingga menggunakan pinjol atau paylater menjadi solusi. Akibatnya, banyak dari mereka yang meminjam justru kesulitan dalam membayar tagihan tersebut.

“Di dalam konsumsi berlebih berbasis budaya ini kita akan mengonsumsi banyak hal mulai dari baju baru, makanan dan ada uang yang diberikan ke orang tua. Sedangkan secara ekonomi mereka belum tentu memenuhi pengeluaran dalam satu waktu. Kalau tidak bisa biasanya mencari pinjaman di pinjol atau paylater, tetapi ketika membayar ada kemungkinan mereka kesulitan karena pendapatan yang tidak cukup,” jelasnya.

Sedangkan Pengamat Ekonomi UNS, Bhimo Rizky Samudro, menilai adanya hubungan ekonomi dan budaya saat Lebaran membuat masyarakat terpancing untuk meningkatkan pola konsumsi. Peningkatan konsumsi yang tidak diimbangi penghasilan yang cukup, membuat mereka tertarik untuk menggunakan pinjol dan paylater.

“Ini adalah hubungan ekonomis dan budaya yakni ekonomi substantif, mereka meminjam karena ada tekanan dari sosial untuk berkonsumsi besar dalam satu waktu. Semua tersedia seolah-olah murah dengan menjadikan hari raya Idul Fitri sebagai momentum, seperti orang itu berkumpul, bertemu dengan keluarga di tempat ia berasal,” ucap Bhimo.

Bhimo juga menyebut, pengeluaran yang besar saat Lebaran sangat erat kaitannya dengan simbol atau status sosial. Ia menjelaskan simbol dan status ini seringkali tidak diimbangi dengan pendanaan yang baik.

“Bahwa dalam merayakan momen tersebut tentu didukung dengan situasi yang memang muncul dari simbol sosial seperti barang-barang, pakaian baru atau banyaknya sajian makanan. Itu juga harus melihat pendanaan yang dimiliki, jika itu dihasilkan dari pemasukan atau aset itu masih lumrah dan tidak perlu memaksakan diri,” jelasnya.

Bhimo berharap, masyarakat tidak perlu memaksakan diri jika memang tidak mampu untuk mengeluarkan uang dalam jumlah besar saat Ramadan. Ia meminta Warga Solo bisa lebih bijaksana dalam mengatur pengeluaran dan tidak tergoda dengan pinjol atau pay later.

“Ini jadi perhatian kita untuk menjadi jalan keluar untuk simbol yang ingin dicapai, ini jadi satu penyebab permintaan yang tinggi terhadap pinjol dan pay later. Harapannya masyarakat bisa lebih bijaksana dan tidak tergoda dengan kemudahan tapi enggak paham risiko,” ulasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya