SOLOPOS.COM - Ilustrasi ayam petelur yang masuk dalam salah satu jenis unggas. (Solopos.com/Adhik Kurniawan).

Solopos.com, SOLOUsaha perunggasan hingga saat ini tengah menghadapi tantangan berupa biaya pakan yang naik. Tidak adanya komoditas pengganti pakan menjadi permasalahan utama.

Ketua Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Jawa Tengah (Jateng), Parjuni, menjelaskan tantangan usaha perunggasan selain naiknya harga pakan juga tantangan musim kemarau.

Promosi Telkom Apresiasi Wahyu, Warrior Telkom Akses yang Viral karena Bantu Petani

Namun menurut Parjuni peternak saat ini sudah mampu menangani tantangan musim kemarau daripada tahun-tahun sebelumnya.

Sebab, saat ini para peternak sudah banyak bangunan kandang dengan sistem close house, sehingga mampu meminimalisir pengaruh udara luar atau cuaca dari luar kandang.

“Untuk penanganan musim kemarau bagi peternak sudah lebih baik dari beberapa tahun yang lalu. Karena saat ini para peternak sudah banyak bangun kandang sistem close house, sehingga bisa meminimalisir pengaruh udara luar atau cuaca kandang,” papar Parjuni saat dihubungi Solopos.com pada Selasa, (20/6/2023).

Selain itu menurutnya belum ada bahan pakan yang bisa menggantikan pakan ternak dari pabrik. Untuk pakan ayam petelur ataupun broiler adalah 50% adalah jagung.

Sehingga, ketika harga jagung berubah maka akan berpengaruh langsung kepada harga pakan. Hal tersebut kemudian mengakibatkan harga pokok penjualan (HPP) telur maupun dagingnya.

“Bedanya dengan pakan broiler adalah proses campuran jagung langsung dari pabrik,” ujar Parjuni.

Salah satu peternak ayam di Mojogedang, Karanganyar, Sartono, mengaku ia bersama unit usaha ternak ayam yang memberdayakan warga penyandang disabilitas saat ini beralih usaha ke penggemukan sapi.

Sebab, menurut Sartono tantangan ternak ayam yang besar. Selain harga pakan, juga berisiko pencemaran bau pada lingkungan sekitar.

Harga pakan yang saat ini berkisar Rp600.000 per karung juga menjadi masalah. Sartono mengaku sempat mengembangkan bahan pakan secara mandiri sehingga tidak menggantung pakan dari pabrik.

“Kami dulu sudah pernah mencoba eksperimen, kami mencoba membuat kombinasi pakan sendiri namun tidak berhasil. Ayamnya tidak bisa bertelur, karena ayam petelur itu embrio telurnya dari pakan jadi andalanya ya asupan pakan,” ujar Sartono.

Ia mengembangkan pakan tersebut dengan menggunakan bahan alami. Walaupun ayam petelur yang mengonsumsi pakan buatan sendiri menjadi gemuk, namun tetap tidak bisa bertelur.

Selain pakan yang menjadi pertimbanan operasional yang cukup besar, musim kemarau juga menjadi tantangan. Masa produktif ayam petelur yang hanya setahun juga membuat Sartono memutuskan beralih usaha.

Pada usaha penggemukan sapi, menurutnya relatif stabil. Misalnya dengan membeli bibit sapi berumur enam bulan seharga Rp13 juta.

“Ketika dipelihara selama setahun, kemudian beranak, dijual laku Rp6 juta,” ujar Sartono.

Sementara itu, dilansir dari ditjenpkh.pertanian.id, Selasa (20/6/2023), sejak 2022 lalu Kementerian Pertanian (Kementan) terus mengupayakan berbagai inovasi untuk mengatasi permasalahan pakan ternak, di antaranya dengan mencari bahan pakan lokal sebagai substitusi bahan pakan impor.

Berdasarkan beberapa literatur kacang koro pedang merupakan jenis kacang kacangan yang dapat bermanfaat sebagai bahan pakan dan sebenarnya telah lama dikenal dan ditanam masyarakat Indonesia.

Ada pula maggot atau larva Black Soldier Fly yang merupakan penghasil protein hewani tinggi dan memiliki kandungan protein sekitar 41%-42%.

Maggot dapat mensubsitusi 100% tepung ikan pada ayam broiler periode starter dan grower dengan menghasilkan bobot ayam broiler yang tidak berbeda nyata namun lebih ekonomis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya