Bisnis
Minggu, 17 September 2023 - 16:33 WIB

Tantangan Pelaku Usaha Lokal, Gempuran Produk Impor hingga Live Shopping Artis

Galih Aprilia Wibowo  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pemilik usaha sepatu lokal Pro Warrior Shoes, Wahyu Wiji Nugroho menunjukkan produk miliknya di Stadion Manahan Solo, pada Minggu (17/9/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO — Selepas cengkeraman Pandemi Covid-19,  local brand atau produk dalam negeri mulai kembali bangkit.

Namun, rupanya dalam kebangkitan ini  banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pelaku usaha lokal. Tantangan itu antara lain masih adanya stigma konsumen mengenai merek lokal yang tidak lebih baik dibandingkan merek luar negeri.

Advertisement

Pemilik merek sepatu lokal Pro Warrior Shoes, Wahyu Wiji Nugroho menyebut pada 2022 lalu pasar dalam negeri untuk produknya cukup bagus. Namun pada 2023 ini mengaku pasar produknya menjadi lesu. Secara umum, menurut dia, penjualan beberapa brand lokal memang agak lesu. Wiji mengaku tidak mengetahui penyebab secara pasti hal ini.

Namun, ada beberapa faktor yang ia prediksi membuat lesunya produk lokal, seperti banjirnya produk impor dari China yang menawarkan harga lebih murah dibandingkan produk lokal. Hal ini berpengaruh karena menurut Wiji, perilaku konsumen di Indonesia itu memang lebih cenderung tergiur dengan harga murah daripada kualitas produk.

Advertisement

Namun, ada beberapa faktor yang ia prediksi membuat lesunya produk lokal, seperti banjirnya produk impor dari China yang menawarkan harga lebih murah dibandingkan produk lokal. Hal ini berpengaruh karena menurut Wiji, perilaku konsumen di Indonesia itu memang lebih cenderung tergiur dengan harga murah daripada kualitas produk.

Menurutnya, dari segi kualitas brand lokal tidak kalah bagus dengan mass product impor dari China. Selain itu menurut dia konsumen saat ini cenderung membeli barang imitasi produk luar negeri. Fenomena jual beli sepatu bekas impor atau thrifting, menurut Wiji juga berdampak karena produk-produk thrift juga sangat mudah ditemukan.

“Banyak masuknya produk China yang menawarkan harga lebih murah daripada produk lokal. Karena mengingat perilaku konsumen kita di Indonesia, itu kadang lebih cenderung tergiur dengan harga murah daripada kualitas,” terang Wiji saat ditemui Solopos.com di Stadion Manahan Solo, pada Minggu (17/9/2023).

Advertisement

Ia menguraikan pola perilaku konsumen juga beralih dari berbelanja offline menjadi berbelanja secara daring, misalnya melalui marketplace dan media sosial. Wiji mengaku juga memaksimalkan penggunaan platform digital. Bahkan dengan live shopping di TikTok, namun dengan siasat ini juga tidak membuat penjualan produknya meroket.

Apalagi, dengan maraknya artis yang juga menggunakan metode ini sehingga persaingan makin ketat. Hal ini menurut dia membuat ruang pelaku usaha lokal semakin sempit. Jadi ia cenderung memaksimalkan promosi di lokapasar atau media sosial seperti Instagram.

Wahyu dulunya merintis usaha sepatu pada 2013. Awalnya, ia mencoba untuk membangkitkan nostalgia tentang Sepatu Warrior yang sempat meredup di Indonesia setelah reformasi pada 1998.

Advertisement

Setelah berhasil re-branding sepatu merek Warrior, ia memberanikan diri untuk membuat merek yang berdampingan yaitu Warrior Pro. Warrior Pro merupakan sepatu Warrior dengan tipe material yang diklaim lebih baik dari sepatu Warrior biasa. Dengan perbedaan material ini tentu juga berpengaruh dengan harga.

Dalam sebulan rata-rata produknya laku 2.000-an sepatu, sementara itu harga sepatu miliknya mulai Rp100.000-an per pasang.

Wiji berharap produknya juga mampu merambah pasar ekspor, namun dia merasa perlu peran pemerintah untuk menguatkan sektor industri alas kaki ini.

Advertisement

Salah satu konsumen, Angger mengaku lebih menyenangi produk sepatu luar negeri. Dibandingkan dengan sepatu lokal, koleksi sepatunya didominasi dengan produk luar negeri, seperti Adidas, Converse, Nike, dan Airwalk. Sementara itu ia hanya memiliki dua koleksi sepatu lokal bermerek Patrobas dan Aerostreet.

Beda cerita, konsumen lain Deva mengaku mendapatkan kenyamanan dalam menggunakan sepatu brand lokal. Secara kualitas produk lokal menurutnya tidak masalah. Namun, menurut dia, model dan desain produk sepatu lokal tidak berciri khas.

“Model kebanyakan mirip [dengan produk luar negeri], kalaupun berkreasi sendiri menurutku desainnya stuck. Coba lokal brand karena awalnya FOMO [fear out missing out]. Awalnya cari merek Compass, tapi harganya sama dengan produk luar,” papar Deva.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif