SOLOPOS.COM - Pasar baju bekas kawakan di Gilingan, Banjarsari, Solo. Pedagang mendapatkan barang dagangannya dari hasil sumbangan atau pemberian untuk dijual kembali, Selasa (21/3/2023) (Solopos.com/Gigih Windar Pratama) .

Solopos.com Stories

Solopos.com, SOLO — Sejumlah pelaku bisnis thrifting di Solo merasa larangan yang ramai digaungkan pemerintah soal bisnis thrifting akhir-akhir ini tidak adil.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Thrifting bagi para penjual berarti menyediakan pakaian bekas berkualitas bagi mereka yang tidak mampu untuk membeli pakaian baru karena harga yang mahal. 

Solopos.com mencoba melihat lebih dekat aktivitas Thrifting di sekitar Solo pada Senin (20/3/2023) dan Selasa (21/3/2023). Solopos.com mendatangi para pedagang pakaian bekas yang ada di Gilingan dan beberapa pelaku thrifting yang sudah mengkurasi barang dagangannya.

Salah satu penjual baju bekas di Kawasan Gilingan, Banjarsari yakni Nurhayati atau yang akrab di sapa Nur. Ia sudah berjualan bersama sang suami sejak awal 2000.

Meskipun lokasi berjualannya berpindah-pindah, ia mengaku peminatnya masih banyak.

Pembelinya mayoritas adalah kalangan bawah yang tidak mampu membeli pakaian baru karena harga yang tidak terjangkau. Nur mengaku barang dagangannya didapatkan dari hasil sumbangan hingga membeli pakaian dengan harga murah di pasar-pasar yang ada di Solo.

“Pakaiannya yang dapat biasanya suami saya, jadi ia dapat dari sumbangan terus dikumpulkan, kalau masih bagus biasanya kami jual. Selain itu beli dari toko-toko pakaian di pasar Gede atau sekitar Coyudan yang barangnya sudah lama enggak laku, kami beli Rp10.000 per baju terus dijual lagi,” kisahnya Nur.

Ia juga menjual pakaiannya dengan harga yang sangat murah, mulai dari Rp5.000 sampai Rp25.000. Nur tidak mencari margin keuntungan yang besar, karena menyadari kualitas barang yang dijualnya.

“Malah kadang ada yang hutang dulu saat beli pakaian, karena ada kebutuhan misalkan ada kondangan, mereka butuh kemeja, ya sudah kami kasih dulu. Harganya juga enggak mahal dan bisa ditawar semisal dikira kemahalan, sehari biasanya bisa bawa Rp75.000 sampai Rp150.000,” tegasnya.

Nur juga menyebut, ada beberapa pakaian bekas impor yang ia jual, tetapi mayoritas barang dagangannya adalah produk lokal.

“Kalau impor paling satu atau dua saja, sisanya merk lokal, bahkan ada batik sampai kemeja punya PT KAI juga ada,” jelasnya.

Mengenai aturan baru dari pemerintah tersebut, Nurhayati menyebut pemerintah terlalu terburu-buru. Pasalnya peminat pakaian bekas muncul karena harga pakaian yang makin mahal.

Bisnis Thrifting
Suasana lapak penjualan pakaian bekas impor di sekitar Solo. (Solopos.com/Gigih Windar Pratama).

“Enggak semua bisa beli pakaian baru, apalagi harga bahan pokok itu naik, kadang mau beli baju Rp50.000 itu ya masih mikir dulu. Harga-harga sekarang makin mahal buat kami makan itu lebih penting,” jelasnya.

Larangan pemerintah seolah membuat jurang besar antara si kaya dan si miskin. Pelaku bisnis thrifting asal Boyolali, Firman, sudah merintis usahanya sejak 2013 dan kini sudah punya empat toko di Soloraya.

Baginya, adanya peraturan tersebut sangat menyudutkan pelaku thrifting yang diklaim menjual barang legal. Firman juga menyebut, barang daganganya diambil dari beberapa lokasi yang tersebar di Indonesia.

“Kami thrifting bukan maling, saya beli dari Medan, Tangerang, Jakarta, Bali sampai Batam, semuanya legal enggak ada yang menyalahi aturan. Kami enggak merugikan siapapun, pembeli kami juga mayoritas menengah ke bawah,” jelasnya.

Ia menyebut, harga yang dipatok untuk satu buah pakaian tergantung dari jenis dan kualitas barang. Saat ini, para pelaku thrifting juga cukup pintar untuk membeli barang, sehingga pembeli tidak perlu khawatir. 

Firman juga menjelaskan sekali membeli satu karung pakaian bekas tersebut, membutuhkan tiga bulan agar semuanya laku, harga yang dipatoknya beragam, mulai dari Rp80.000 sampai Rp500.000 tergantung merek dan kualitas.

“Kami beli per bal atau per karung, kalau isinya bagus, harganya Rp1,5 juta sampai Rp5 juta untuk pakaian kalau sepatu bisa sampai Rp10 juta. Maksudnya bagus itu merknya lumayan terkenal dan kualitasnya minimal 80 persen, jadi pembeli enggak ketipu misalkan kami jual agak mahal harganya,. Kami juga memisahkan barang kami, kalau sekiranya masih bagus dan merknya oke kami pisah dengan pakaian yang biasa,” jelasnya.

Menurut Firman, aturan yang dibuat pemerintah seolah melarang masyarakat untuk memiliki pakaian bagus dan bermerek. Thrifting baginya adalah kesempatan bagi para masyarakat untuk bisa mendapatkan barang bermerek dengan harga murah.

“Misalkan, ada kemeja merk Balenciaga atau YSL, beli barunya bisa sampai Rp3 juta di mall, sedangkan kami jualnya paling Rp400.000 dan masih bisa turun. Kami juga melihat yang beli ke kami secara taraf ekonomi seperti apa, mereka juga pengen punya pakaian bermerek dan berkualitas tapi tetap terjangkau. Adanya aturan ini seolah-olah yang bisa pakai baju bagus cuman orang kaya,” ujarnya.

Menurut Firman, pemerintah harus lebih mengkaji aturan terkait thrifting. Baginya, larangan tersebut masih sangat bias dan tidak punya landasan yang jelas.

“Kalau mau melarang, coba dilihat, barang yang masuk kualitasnya bagaimana, misalkan pakaian bekas yang dijual minimal kualitasnya 80 persen begitu baru jelas, atau barang yang dijual enggak boleh barang untuk sumbangan. Karena kalau cuman melarang, kesannya justru pemerintah enggak adil,” tambahnya.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya