SOLOPOS.COM - Sejumlah calon pembeli memilih baju bekas layak pakai (awul-awul)di area Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) di Alun-alun Utara, Jogja, Kamis (21/11/2013). Semakin tingginya harga kebutuhan hidup membuat masyarakat kelas bawah cenderung berhemat dengan membeli sandang bekas layak pakai karena harganya murah. (JIBI/Harian Jogja/Gigih M Hanafi)

Solopos.com, SOLO — Kementerian Koperasi dan UKM tururt menggalakkan kampanye larangan thrifting melalui akun Instagram resmi mereka @kemenkopukm.

Kemenkop menuliskan pakaian bekas impor telah diatur dalam Permendag No 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Permendag No 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Permendag tersebut menuliskan barang berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas dilarang untuk di impor.

Thrifting pakaian bekas impor ternyata juga merugikan produsen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tekstil, karena 80% produsen pakaian di Indonesia didominasi oleh industri kecil dan mikro.

Bahkan, impor pakaian bekas selama ini telah memangkas pangsa pasar UMKM sebesar 12-15%.

Thrifting berasal dari kata thrift dalam bahasa Inggris yang berarti hemat atau penghematan, saat ini istilah tersebut merujuk pada aktivitas menjual pakaian/barang bekas.

Tren ini muncul salah satunya akibat isu lingkungan terkait fast fashion (industri pakaian yang tren modenya berubah dengan cepat), sehingga dianggap menjadi permasalahan pada pengelolaan sampah pakaian.

Thrifting barang impor tidak disarankan dengan beberapa alasan;

Pertama, isu lingkungan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2019, volume baju bekas yang diimpor mencapai 392 ton, dengan jumlah impor yang begitu besar, tak semua baju-baju tersebut berakhir di tangan pembeli. Sehingga banyak di antara baju bekas impor tersebut yang tidak dikelola dan terbuang sehingga meninggalkan jejak karbon.

Kedua, berisiko bagi kesehatan. Menurut hasil uji lab dari Balai Pengujian Mutu Barang, pakaian bekas impor terbukti mengandung jamur kapang yang berpotensi dapat menimbulkan risiko kesehatan seperti gatal-gatal, iritasi, dan alergi pada kulit.

Ketiga, impor barang bekas = menerima sampah negara lain. Barang bekas yang diimpor itu dijual dalam bentuk bal (karung), yang berisi produk pakaian kategori sejenis.  Sebagai pembeli bal dan penjual barang thrifting, tidak bisa memilih baju satu per satu dari dalam karung. Lalu, dari satu karung itu juga belum tentu memiliki kualitas yang bagus.

Thrifting yang awalnya marak karena peduli lingkungan, kini malah bergeser menjadi tren semata. Ujungnya yakni semakin menambah isu pengelolaan sampah, dan berpotensi membuat produk lokal jadi turun peminatnya.

Masih ada cara yang lebih layak dan ramah lingkungan kalau mau berbisnis barang bekas. Salah satunya, bisa mencoba bisnis jual barang bekas dari brand-brand lokal atau menjual barang preloved yang pemakainya berdomisili di daerahmu.

Tentunya ini bisa mengurangi isu lingkungan dari berbagai aspek, dan membuat sirkulasi barang bekas lokal jadi lebih baik.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan ikut buka suara terkait maraknya bisnis thrifting yang menjualbelikan produk pakaian dan sepatu bekas impor. Bisnis ini dianggap mengganggu perkembangan industri lokal.

Presiden Jokowi meminta jajarannya membereskan persoalan impor ilegal terutama produk tekstil bekas yang mengancam keberadaan industri lokal. Jokowi memerintahkan jajarannya untuk mengungkap praktik importasi ilegal ini hingga tuntas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya