SOLOPOS.COM - Focus group discussion (FGD) Industry Trends bertajuk Membaca Arah Ekonomi Lewat Catatan Konsumsi Listrik di Griya Solopos, Sabtu (29/7/2023). (Solopos/Bony Eko Wicaksono)

Solopos.com, SOLO — Gelombang produk impor yang tak terbendung disebut menjadi penyebab dominan terpuruknya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

Selain itu, perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China serta konflik berkepanjangan Ukraina dan Rusia juga turut menekan kinerja industri TPS dalam negeri.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Ketua Badan Pengurus Provinsi (BPP) Asosiasi Pertekstilan Indonesia (BPP API) Jawa Tengah, Dewanto Kusuma Wibowo membeberkan beragam permasalahan yang dihadapi industri TPT nasional sebelum pandemi hingga sekarang.

“Sebelum pandemi muncul, terjadi perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkong. Ini mungkin 2019. Sehingga utilisasi produk tekstil berkurang,” kata dia dalam group discussion (FGD) Industry Trends bertajuk Membaca Arah Ekonomi Lewat Catatan Konsumsi Listrik di Radya Litera, Griya Solopos, Sabtu (29/7/2023).

Dalam kegiatan hasil kerja sama PLN dan Solopos tersebut, Dewanto mencontohkan keberadaan penjualan baju bekas impor atau thrifting merugikan pelaku industri tekstil, utamanya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Saat ini, pemerintah telah melarang pakaian bekas impor masuk ke Tanah Air.

“Pakaian bekas lumayan berkurang. Mungkin sekarang menghabiskan stok lama,” ujar dia.

Berdasarkan data, impor pakaian bekas masih mendominasi. Paling besar dari Tiongkok sebesar 47. Sementara pasar ekspor tekstil di Amerika Serikat dan Eropa.

Menurut Dewanto, saat ini, marak jual-beli produk tekstil tanpa pajak.

“Pengawasan kurang ketat sehingga pakaian bekas masuk ke Indonesia dengan mudah. Lewat jalur tikus di perairan,” ujar dia.

Sebelumnya, pada kesempatan yang sama Komisaris PLN, Eko Sulistyo mendorong pemerintah untuk melakukan terobosan sekaligus memperkuat kerja sama ekonomi di jalur perdagangan global.

Langkah itu dilakukan untuk mendongkrak kinerja sektor manufaktur sebagai penyumbang utama perekonomian. Menurut Eko, listrik menjadi alat ukur atau instrumen pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional.

“Pemerintah harus melakukan terobosan baru untuk mendongkrak kinerja industri manufaktur. Bisa melakukan kerjasama ekonomi di jalur perdagangan global,” ujar dia.

Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat kerja sama ekonomi bilateral yang berimplikasi positif terhadap tingkat perekonomian nasional.

Hal ini menjadi daya ungkit industri tekstil dengan sebagian besar share market di luar negeri. Lebih jauh, Eko menyampaikan Industri tekstil punya kontribusi besar di ceruk ekonomi.

Memang pertumbuhan industri tekstil terdampak perang Ukraina-Rusia yang tak kunjung rampung. Namun, sekarang pembatasan logistik sudah melonggar.

“Ada juga pembatasan karbon yang mulai diberlakukan di Eropa pad Juni. Seluruh barang akan dilacak jika tidak sesuai standar,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya