SOLOPOS.COM - Bank Indonesia (BI) meluncurkan white paper, yang mencakup desain pengembangan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau Rupiah digital.(Ilustrasi/Bisnis)

Solopos.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI-7 Days Repo Rate (BI7DRR) di level 5,75 persen, selama tujuh bulan beruntun, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 24-25 Juli 2023.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan alasan Dewan Gubernur BI mempertahankan suku bunga acuan atau BI rate di level 5,75 persen.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 24 dan 25 Juli 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75 persen,” katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia, Selasa (25/7/2023) seperti dilansir Bisnis.

Dengan demikian, suku bunga Deposit Facility tetap di level 5 persen, dan suku bunga Lending Facility tetap sebesar 6,5 persen. Perry menuturkan keputusan mempertahankan BI7DRR konsisten dengan stance kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetep terkendalli dalam kisaran sasaran 3+/-1 persen pada sisa tahun 2023 dan 2,5 +-1 persen pada 2024.

“Fokus kebijakan diarahkan pada penguatan stabilisasi nilai rupiah untuk mengendalikan inflasi barang impor [imported inflation] dan memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global,” jelasnya.

Acuan Sebelumnya, ekonom memperkirakan BI kembali mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan bahwa suku bunga acuan BI pada level 5,75 persen tersebut masih konsisten dalam menjangkar ekspektasi inflasi dalam jangka pendek.

“Sementara itu, nilai tukar rupiah masih bergerak cukup stabil, terutama pasca rilis inflasi AS menunjukkan tren penurunan lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya,” katanya kepada Bisnis, Senin (24/7/2023).

Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan bahwa BI akan cenderung berhati-hati dalam merespons arah terbaru kebijakan bank sentral Amerika Serikat (the Fed).

The Fed pada pertemuan FOMC terakhir memutuskan untuk menahan suku bunga acuan, tetapi mengisyaratkan untuk menaikkan suku bunga lanjutan ke depan. Faisal berpandangan, dampak dari transmisi FFR terhadap Indonesia pun akan semakin terlihat melalui imbal hasil obligasi pemerintah.

“Kita lihat dampaknya ke yield dan rupiah dulu, so far masih bisa ditahan. Namun, memang akan data dependen juga,” katanya kepada Bisnis, Rabu (21/6/2023).

Jebakan Negara Berpendapatan Menengah

Pertumbuhan ekonomi nasional perlu diakselerasi guna menghindari jebakan negara berpendapatan menengah. Hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia yang baru saja dinobatkan Bank Dunia menjadi negara berpendapatan menengah ke atas.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia berhasil menyentuh level US$4.783,9.

Negara dengan kategori upper middle income memiliki rentang pendapatan antara US$4.466—US$13.845 per kapita. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan Indonesia setidaknya harus mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari 5% menjadi 6,5% untuk naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas.

“Sesuai dengan target Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Ekonomi Indonesia harus tumbuh 6,5% untuk bisa lolos ke high income dan keluar dari middle income trap yang ditargetkan pada 2045,” kata Faisal kepada Bisnis.com, baru-baru ini.

Untuk merealisasikan target tersebut, Faisal menilai pemerintah dan dunia usaha perlu secara presisi memastikan upaya hilirisasi benar-benar menjadi faktor yang mempercepat proses transformasi ekonomi Tanah Air.

Dalam hal ini, peran pelaku usaha disebut sangat besar untuk menarik investasi ke sektor industri, baik yang datang dari penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN).

“Untungnya, fungsi dari kebijakan fiskal APBN sudah mengarahkan pelaku usaha agar bisa melakukan ekspansi dan mau berinvestasi,” ujarnya.

Dari sisi pelaku usaha, posisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas dinilai masih sangat labil, dan rentan untuk kembali menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, faktor seperti sistem jaring pengaman sosial yang dibebani masalah overload penerima manfaat berpotensi kembali menurunkan posisi Indonesia sebagainegara berpendapatan menengah ke bawah.

“Sebab, PDB per kapita Indonesia masih terlalu dekat dengan batas bawah kategori upper middle country. Akan semakin bermasalah ketika tidak ada bonus demografi dan Indonesia tidak punya true middle class yang mendominasi struktur pasar nasional,” kata Shinta.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya