SOLOPOS.COM - Ilustrasi berada di ruang tunggu bandara. (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Ketua Institut Studi Transportasi (Instran), Ki Darmaningtyas, menilai kebijakan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait pencabutan status 17 bandara internasional hingga turun kelas menjadi bandara domestik adalah kebijakan tepat.

Jumlah bandara internasional Indonesia berkurang dari 34 menjadi 17 bandara, termasuk Bandara Adi Soemarmo Solo yang berlokasi di Boyolali. Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. 31/2024 (KM 31/2004) tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada 2 April 2024.

Promosi NeutraDC Hadir sebagai AI Enabler di Indonesia Cloud & Datacenter Convention

Darmaningtyas menyebut pembangunan bandara-bandara baru atau melabeli bandara lama dengan label internasional dulunya bertujuan untuk menarik wisatawan asing. Karena dengan penerbangan langsung, membuat biaya yang dikeluarkan dinilai bakal lebih murah.

“Mimpinya dulu membangun bandara-bandara baru atau melabeli bandara lama dengan label internasional adalah dapat menarik wisatawan dari luar datang ke Indonesia karena dengan penerbangan langsung diharapkan biayanya lebih murah, sehingga lebih efektif efisien,” terang Darmaningtyas saat dihubungi Solopos.com, pada Senin (6/5/2024).

Namun pada praktiknya, Darmaningtyas menyebut keberadaan bandara internasional di sejumlah daerah itu justru menarik warga di daerah untuk berwisata ke luar negeri, terutama ke negara-negara Asia Tenggara yang lebih dekat. Artinya banyak warga lokal yang justru keluar negeri.

Oleh sebab itu, yang terjadi adalah penumpang keluar negeri lebih banyak daripada penumpang yang datang dari luar negeri.

“Ini sekadar contoh penggambaran saja, bukan cerita data karena saya tidak punya datanya. Cuma pengamatan saja. Misalnya Bandara Ahmad Yani Semarang itu dilabeli bandara internasional, dari pengamatan kawan yang tinggal di Semarang, orang Semarang dan sekitarnya yang pergi ke Singapura lebih banyak daripada orang dari arah Singapura terbang menuju ke Semarang,” kata dia.

Fenomena ini juga sangat mungkin terjadi di wilayah lain. Misalnya saja warga Sumatra Utara yang memilih pergi ke Malaysia atau Singapura jauh lebih banyak daripada orang Malaysia atau Singapura yang terbang ke Sumatra Utara.

“Nah kalau demikian yang terjadi di lapangan, maka sebetulnya kita rugi dengan pelabelan bandara internasional di sejumlah wilayah, karena keberadaan bandara internasional itu justru menyedot devisa kita ke luar, bukan sebaliknya. Jadi kebijakan mencabut 17 bandara internasional menjadi bandara regular adalah sangat tepat,” tegasnya.

Senada, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno menilai kebijakan ini merupakan hal yang tepat. Dia menilai bandara yang berubah status secara sarana dan prasana telah memenuhi standar penerbangan internasional.

Tidak menutup kemungkinan bandara tersebut melayani penerbangan internasional kembali, tapi tidak secara rutin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya