SOLOPOS.COM - Suasana di Burjo One Way 2 kawasan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo. Foto diambil Jumat (14/7/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO — Dikenal sebagai surganya kuliner, Kota Solo selalu menawarkan ragam makanan yang terjangkau, terutama bagi mahasiswa.

Salah satu rujukan warung makan untuk mengisi perut kosong adalah Burjo yang merupakan akronim bubur kacang ijo atau biasa disebut warung makan indomie atau Warmindo.

Promosi Telkom Dukung Pemulihan 82,1 Hektare Lahan Kritis melalui Reboisasi

Burjo selalu menjadi favorit mahasiswa yang ingin sesuatu yang murah. Selain nama yang ikonik, keunikan Burjo juga terletak karena hampir semua tukang masaknya adalah orang Sunda.

Burjo selalu ada di kawasan kampus, misalnya di kawasan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo. Mayoritas Burjo buka secara nonstop, alias 24 jam.

Berdasarkan penelusuran Solopos.com, banyak Burjo yang dikemas dengan sederhana tak hanya menyediakan kebutuhan makan. Namun ada juga yang menawarkan dengan fasilitas lebih lengkap, seperti Wi-Fi dan banyak stopkontak.

Hal itu membuat Burjo tak sekadar tempat makan, tapi juga menjelma jadi tempat nongkrong.

Menjadi tempat nongkrong yang asyik dan dilengkapi menu sederhana serta murah membuat Burjo banyak diserbu pembeli. Apalagi di jam rawan antre seperti makan siang, dan ketika malam hari.

Mahasiswa UMS, Krisna Indra, mengaku dalam sepekan bisa mengunjungi Burjo sebanyak lima kali. Ia memilih Burjo sebagai rujukan karena harga menu yang murah mulai Rp10.000 hingga Rp 15.000.

Menu favorit di Burjo yakni Mie Dok Dok, atau mi instan dimasak dengan kuah pedas. Krisna sering mengunjungi Burjo sewaktu malam sekalian nongkrong hampir empat jam hingga dini hari.

Namun, ia tidak mengaku tidak memilih Burjo sebagai tempat mengerjakan tugas, karena menurutnya suasananya tidak kondusif.

Ia tidak masalah menu-menu yang ditawarkan kurang bergizi, asal mengenyangkan. Menu yang ia nilai kurang bergizi misalnya omelet yaitu olahan mi dicampur telur yang masih dipadukan dengan nasi.

Selain menu utama, Burjo kadangkala juga menyedaikan gorengan dan kerupuk. Walaupun ketika malam hari, hanya tersisa remah-remah gorengan. Krisna juga memaparkan proses memasak di Burjo cukup instan sehingga ia tidak harus menunggu lama.

“Makanan Burjo enak, standar sesuai harga yang murah,” ujar Krisna saat ditemui Solopos.com di kawasan UMS Solo, pada Jumat (14/7/2023).

Dibandingkan di kedai kopi kekinian, ia lebih memilih makan di Burjo karena pilihan menu yang kurang variatif dan tidak mengenyangkan. Serta tidak ramah di kantong mahasiswa. Selain itu menu Burjo lebih menyediakan menu yang biasa ia konsumsi setiap hari.

Mahasiswa UMS lainnya, Rico Satya, menyukai olahan mi dibandingkan dengan warung makan Jawa atau Tegal. Karena olahan mi di Burjo variatif, misalnya Indomie magalengan, yaitu nasi goreng yang dicampur dengan mi atau dikenal dengan nasi mawut.

Selain itu, Burjo yang selalu ada di sudut kampus membuatnya tidak ambil pusing memilih rujukan untuk mengisi perut kosongnya.

Biasanya dalam sekali makan ia menghabiskan Rp15.000 termasuk minum. Dalam sepekan paling tidak ia mengunjungi tiga hingga empat kali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya