SOLOPOS.COM - Ilustrasi pekerja di perusahaan pusat data. (freepik)

Solopos.com, SOLO — Kebutuhan sertifikasi profesi di Indonesia terus mengalami pertumbuhan. Sebagian besar kondisi ini terjadi akibat tingginya permintaan akan tenaga kerja terampil di dunia kerja.

Wakil Sekretaris Apindo Solo sekaligus Pengurus Apindo Jawa Tengah, Sri Saptono Basuki, mengatakan tantangan utamanya yakni sertifikasi profesi yang harus diberikan secara obyektif dengan standar penilaian.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Salah satu tujuannya yakni membuat kualitas hasil sebanding dengan label sertifikasi tersebut.

“Memang berproses untuk menghapus gap skill [perbedaan keterampilan] itu ya, walaupun agak lambat dan tergantung political will. Namun penguji kompetensi juga harus mencermati standar penilaiannya bagaimana, agar kualitas hasil sebanding dengan labelnya,” ujar Basuki saat dihubungi Solopos.com, Rabu (6/9/2023).

Dia melanjutkan jika semuanya dilaksanakan sesuai mekanisme yang ada, evaluasi berkelanjutan akan berdampak pada daya saing dan gap skill yang terjadi. Hal tersebut akan berdampak pada struktur pengupahan terhadap para pekerja.

Link dan match dunia kerja perlu diperhatikan, dievaluasi, ditingkatkan, dan ditransformasikan sebagaimana perkembangan dan kebutuhan industri. Menurutnya, hal tersebut akan mampu mengurangi tingkat pengangguran terbuka di masyarakat.

Basuki juga berpendapat, gap skill di Soloraya masih terasa tetapi sudah jauh lebih baik dibandingkan era link & match dunia kerja digaungkan.

“Sebelum pendidikan vokasi digalakkan, gap skill ini masif rasanya di Soloraya, makanya ada beberapa perusahaan yang memiliki lembaga pelatihan kerja internal atau melakukan induction training untuk tenaga kerja baru, dengan tujuan menyelaraskan apa yang ada di industri,” tambahnya.

Menurutnya, langkah Kementerian Tenaga Kerja mengubah istilah Balai Latihan Kerja (BLK) menjadi Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP) merupakan cara jitu merespons bonus demografi Indonesia.

Melansir data ketenagakerjaan di Indonesia dari www.statista.com, Indonesia masih menjadi negara dengan populasi terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.

Penduduk Indonesia juga didominasi oleh populasi anak muda dengan usia tengah-tengah 29 tahun, mengindikasikan besarnya kelompok kerja di Indonesia.

Hal ini dapat menjadi keuntungan karena pekerja muda dapat beradaptasi dengan teknologi baru dan belajar keterampilan dibandingkan pekerja senior.

Namun, pasar pekerja di Indonesia menghadapi tantangan lainnya, seperti tingginya tingkat pengangguran terbuka serta ketenagakerjaan informal, termasuk ketidaksetaraan gender di tempat kerja.

Sektor manufaktur saat ini telah menggeser sektor pertanian dalam posisi pusat seiring dengan tumbuhnya ekonomi negara. Pertumbuhan sektor manufaktur dan jasa telah menciptakan tumbuhnya ketenagakerjaan di Indonesia.

Pada 2022 lalu, sektor manufaktur Indonesia secara langsung berdampak terhadap 13% penyerapan kerja, meningkat dibandingkan jumlah pekerja tahun 2013 sebesar 3,3 juta pekerja.

Tingkat pengangguran menurun dan mencapai 4,1% saat jumlah lapangan kerja meningkat. Saat ini, pekerja sektor manufaktur mendapatkan pendapatan lebih tinggi daripada pekerja pertanian, mulai dari Rp1,37 juta hingga Rp5 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya