SOLOPOS.COM - Ilustrasi penipuan online. (Freepik.com)

Solopos.com, JAKARTA — Penipuan yang mengatasnamakan atau berkedok Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menyebabkan kerugian hingga Rp8,3 miliar.

Kasus penipuan terbanyak berasal dari aktivitas media sosial, dengan pelaporan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Ditjen Bea Cukai Hatta Wardhana menjelaskan bahwa modus penipuan yang mengatasnamakan pihaknya terus berkembang di masyarakat.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Modusnya, pelaku mengaku sebagai petugas Bea Cukai yang sedang menindaklanjuti barang milik calon korban, misalnya barang dari transaksi online.

Menurut Hatta, pelaku biasanya menyebut bahwa barang tersebut merupakan barang ilegal sehingga dia yang mengatasnamakan Bea Cukai meminta calon korban untuk membayar sejumlah biaya. Ternyata, kerugian dari modus penipuan itu telah mencapai miliaran rupiah.

“Total kerugian Rp8,3 miliar yang sudah ditransferkan [oleh korban],” ujar Hatta dalam media briefing Ditjen Bea Cukai, Kamis (22/12/2022).

Baca Juga: Bea Cukai Kudus Musnahkan 5 Juta Batang Rokok Ilegal Senilai Rp5,7 Miliar

Meski demikian, dia mengungkapkan terdapat potensi kerugian yang berhasil terselamatkan senilai Rp12,6 miliar. Menurut Hatta, angka itu berasal dari seluruh pengaduan calon korban yang telah dihubungi pelaku tetapi belum melakukan transfer, karena calon korban melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada Bea Cukai.

Kerugian mencapai miliaran di antaranya karena penipuan terus berkembang di masyarakat. Hal itu tercermin dari jumlah laporan masyarakat kepada Bea Cukai yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan mencapai puncaknya pada 2022.

Pada 2018, jumlah laporan penipuan yang masuk ke layanan pengaduan telepon Bea Cukai di nomor 1500 225 adalah 1.463 kasus, lalu naik pada 2019 menjadi 1.501 kasus.

Pada 2020 jumlahnya kembali naik ke 3.284 laporan, sempat turun pada 2021 menjadi 2.491 laporan, tetapi melonjak pada Januari—November 2022 mencapai 6.958 laporan.

“Penipuannya macam-macam modusnya, mulai dari modus diplomatik, romansa, money laundering, lelang, dan paling banyak berkedok sebagai online shop, ini yang paling banyak terjadi yang mengadukan kasusnya ke kami,” kata Hatta.

Baca Juga : Kenaikan Cukai Rokok untuk Menurunkan Prevalensi Merokok, Ini Penjelasan Menkeu

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan Direktorat Bea dan Cukai terus menindak peredaran rokok ilegal di Indonesia.

Menurutnya, tujuan penindakan untuk penindakan rokok ilegal dilakukan untuk memproteksi petani, tenaga kerja, dan aspek kesehatan serta penegakan hukum.

“Ini [penurunan rokok ilegal] suatu prestasi dr teman-teman Bea Cukai yang perlu dijaga karena prevalensi rokok ilegal juga meningkat,” ujarnya di kompleks DPR RI, Senin (12/12/2022).

Sri Mulyani mengatakan pihaknya menggunakan kombinasi cukai dengan harga untuk membuat kebijakan dalam rangka menciptakan suatu tingkat harga yang juga bisa menimbulkan pengurangan konsumsi dan penindakan hukum untuk mengurangi rokok ilegal.

Baca Juga: Bea Cukai Kudus Musnahkan 5 Juta Batang Rokok Ilegal Senilai Rp5,7 Miliar

Penindakan

Menkeu menilai kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) selama ini memang didesain untuk menciptakan harga per bungkus rokok tetap mahal yang dipertahankan atau sedikit meningkat. “Ini agar kemampuan membeli rokoknya menurun dan konsumsi menurun. Saat kita menaikkan CHT cukup tinggi produksi rokok menurun drastis minus 9,7,” imbuhnya.

Secara terperinci ia menjabarkan terdapat 6.327 penindakan DJBC pada 2019, 9.018 penindakan pada 2020, 13.125 penindakan pada 2021, dan 19.399 penindakan pada tahun ini.

Nilai dari Barang Hasil Penindakan (BHP) pun, kata dia, mencapai Rp548,22 miliar tahun ini dari Rp452,71 miliar pada 2021, Rp370,67 miliar pada 2020, dan Rp271,41 miliar pada 2019.

Baca Juga: Perputaran Uang Capai Rp23,85 Triliun, Nataru Jadi Penentu Pertumbuhan Ekonomi

Seiring langkah DJBC yang semakin intensif melakukan penindakan, lanjutnya, maka peredaran rokok ilegal pun semakin menurun yaitu dari 12,1 persen pada 2016 menjadi hanya 5,5 persen tahun ini.

Untuk tahun ini, penurunan yang sebanyak 5,5 persen terdiri dari 1,4 persen salah personifikasi, 2,9 persen salah peruntukan, dan sisanya adalah karena pita cukai bekas serta pita cukai palsu.

Sri Mulyani menuturkan terdapat dua modus yang saat ini sering muncul, yaitu pelanggaran berupa memakai pita cukai tapi palsu, dan memakai pita cukai tapi bekas.



“Ini dua hal yang modusnya mulai muncul,” ujar Menkeu Sri Mulyani. Untuk salah personifikasi terjadi apabila pita cukai dari kelompok murah, namun ditempelkan ke kelompok yang lebih tinggi. “Ini biasanya Sigaret Kretek Tangan [SKT] jenis III ditempelkan di SKT lebih tinggi,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya