Solopos.com, SOLO — Dosen Arsitektur Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Kusumaningdyah Nurul Handayani menilai ruang publik di Kota Solo saat ini sudah cukup beragam.
Tak seperti dulu yang hanya bertumpu di Taman Balekambang, Taman Sriwedari, Koridor Jl. Gatot Subroto (Gatsu), dan kawasan Ngarsapura. Namun, masih ada beberapa catatan yang perlu dikembangkan agar pemanfaatannya lebih maksimal.
Di sisi lain, revitalisasi bantaran sungai serta taman-taman lain yang tersebar di masing-masing kelurahan menjadi bagian ruang publik baru di Kota Solo.
“Namun pemanfaatannya bagi saya kurang maksimal dengan tersedianya fasilitas bermain, tingkat keaamanan, dan lain-lain,” terang dia saat dihubungi Solopos.com pada Minggu (27/8/2023).
Selain itu, menurutnya banyak ruang publik yang tidak menyediakan ruang parkir. Selebihnya, lokasi ruang publik juga perlu disinergikan dengan pemberhentian seperti halte atau bus stop serta moda angkutan publik lainnya agar saling terkoneksi.
“Nampaknya ini yang belum tersinergikan dengan baik,” tambah dia.
Ia juga menguraikan fasilitas ruang publik masih perlu banyak ditingkatkan. Misalnya area fasilitas playground, landscape elemen taman yang entertaining seperti fountain, lightning, serta fasilitas bagi difabel yang perlu dikembangkan lebih lanjut.
Sebagai solusi keterbatasan di Kota Solo, ia menilai perlu memaksimalkan beberapa wilayah potensial. Misalnya jalan untuk kegiatan festival, karena ragam festival di Solo sudah beragam dari dulu.
Ia juga menguraikan sisi bantaran sungai yang belum dikembangkan dengan baik. Padahal, dengan memaksimalkan area tersebut bisa menjadi salah satu pilihan alternatif.
Selain itu, Menurut Kusumanindyah, segmen pengunjung ruang publik dan mal cukup berbeda mulai dari sisi tingkat kenyaman, fasilitas, dan keamanan. Sehingga isu sepinya mal tidak berhubungan dengan fungsi ruang publik di Solo.
“Akses untuk publik, saya rasa di mal mesti berbayar. Seperti parkir dan layanan lainnya. Kalau menurut saya tidak berkorelasi juga. Pengunjung turun karena memang segmen atau produk ritelnya tidak menarik, dan lain-lain. Contohnya Pakuwon Mall Jogja. Ketika di re-branding ulang dan ritelnya bisa menyasar pangsa pasar atas maka lebih nge-hip [trending] dibanding pasca Covid-19 sebelumnya. Re-branding dengan event menjadi bagian strategi marketing-nya,” pungkas Kusumaningdyah.