Bisnis
Jumat, 22 September 2023 - 11:00 WIB

Redupnya Pasar Fesyen Offline Soloraya, Ada yang Sepekan hanya Laku Satu Gamis

Galih Aprilia Wibowo  /  Ika Yuniati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Potret lesunya aktivitas jual beli di Pusat Grosir Solo (PGS), Kamis (21/9/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO — Redupnya aktivitas perdagangan fesyen dirasakan oleh beberapa pedagang fesyen di Soloraya. Tidak sedikit pedagang pusat perbelanjaan fesyen yang juga mengeluhkan sepinya pembeli.

Sepinya pengunjung pusat perbelanjaan fesyen terlihat di Pusat Grosir Solo (PGS) pada Kamis (21/9/2023). Tidak tampak ramai aktivitas jual beli di pusat perbelanjaan Solo tersebut. Beberapa kios juga tertutup rolling door.

Advertisement

Lesunya aktivitas perdagangan di PGS salah satunya diungkapkan oleh karyawan toko di PGS, Fara. Wanita asli Solo ini menjadi karyawan di PGS lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

Ia berkisah pemilik toko hanya memilih menghabiskan stok produk yang tersisa. “Kami habiskan barang aja, enggak produksi lagi,” terang Fara saat temui Solopos.com, Kamis.

Fara menjelaskan pemilik toko tidak berani memproduksi barang baru. Disusul kontrak sewa dua kios yang akan habis beberapa tahun lagi. Apalagi, satu kios milik bosnya akan dijual namun tak kunjung laku.

Advertisement

Dalam sepekan ini, Fara hanya bisa menjual satu gamis seharga Rp230.000. Bahkan, sehari-sehari tanpa satu produk terjual merupakan hal biasa untuk Fara.

Harga produk yang ia tawarkan mulai puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Ia buka mulai pukul 10.00 WIb hingga 16.00 WIB. Dalam sepekan ia hanya libur sekali.

Terakhir kali, kiosnya ramai pada seusai Lebaran lalu. Beberapa pemudik berkunjung ke kiosnya. Ia juga memilih tidak merambah ke perdagangan di lokapasar, karena tidak mampu menyediakan stok banyak.

Walaupun sempat mencoba berjualan online selama dua bulan saat pandemi Covid-19. Ternyata, metode ini juga tidak berdampak signifikan.

Advertisement

Apalagi dengan biaya service yang harus dibayarkan tiap bulan. Adanya kenaikan biaya ini juga memukul para pedagang. Untuk tiga kios saat ini ia membayar lebih dari Rp1 juta dulunya, hanya sebesar Rp400.000-an.

Potret lesunya aktivitas jual beli di Pusat Grosir Solo (PGS), Kamis (21/9/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Gunakan Metode Penjualan Online

Senada, Pemilik Toko Tiffany Bella, Budiyono, 50, mengeluhkan mahalnya biaya bulanan yang cukup tinggi. Namun, cara berbeda ia lakukan dalam metode penjualan. Menurut Budi, pedagang mau tidak mau ia harus mengadaptasi metode penjualan online.

Dalam sehari ia rutin live streaming shopping di platform digital yang berbeda-beda. Misalnya satu jam di TikTok, satu jam berikutnya di Shopee. Metode berjualan online cukup membantu penjualan di tokonya, dalam sehari paling tidak ada belasan pesanan.

“Harus inovatif, harus kreatif, kalau enggak mengikuti perkembangan zaman, ya ketinggalan,” ujar Budi.

Advertisement

Namun menurut Budi metode penjualan online tidak mampu memulihkan omzet penjualannya sesuai pandemi.

Sama seperti Fara, pernah dalam sehari produknya sama sekali tidak laku di kios miliknya.

Menurut Budi dengan metode berjualan online, membuat jangkauan pemasarannya lebih luas. Karena menurut Budi, lingkup kios offline miliknya hanya menjangkau warga lokal.

Budi menyebut fenomena sepinya di Pasar Tanah Abang juga terasa di Solo. Menurut Budi, bukan plaform digital yang jadi penyebabnya.

Advertisement

Namun, daya beli masyarakat yang menurun. Menurut dia, konsumen saat ini cenderung pikir-pikir untuk menghabiskan uang pada produk fesyen.

Berbeda dengan Fara yang memproduksi sendiri, Budi memilih memasok barang dagangannya dari impor selain produk lokal.

Ia memilih menjuak produk impor sebab beberapa model yang ada tidak disediakan oleh produsen lokal. Menurut dia, masing-masing produk punya pangsa pasar sendiri.

Produk yang ia jual mulai dari handuk, sprei, dan pakaian. Harga produk ia jual mulai dari Rp9.000 hingga ratusan ribu rupiah.

Salah satu karyawan toko, Dian, mengungkapkan pasokan produk fesyen yang ia jual berasal dari Jakarta, ia kurang mengetahui tepatnya dari mana. Sama seperti Fara dan Budi, sepinya aktivitas jual beli di PGS diiyakan karena ia hanya membuat satu nota penjualan hari ini.

Produsen Batik Ikut Kena Imbas

Produsen batik asal Sragen yang berjualan di Beteng Trade Center, Sugiyamto merasa hal serupa. Bahkan waktu pandemi, ia hanya membayar separuh gaji karyawannya. Ia mulai membayar penuh ketika kiosnya diperbolehkan buka dengan waktu penuh.

Advertisement

Ketua DPD Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Kabupaten Sragen, Andi Kusnanto, menjelaskan hal serupa.

Di Kabupaten Sragen, pedagang produk fesyen di pasar juga mengalami penurunan. Penurunan ini ia sebut karena konsumen yang dimanjakan dengan e-commerce dan metode penjualan onlien lainnya

Pemilik Batik Aulia Solo ini mengaku terus mendongrak penjualan dengan cara memproduksi batik yang spesifik, yang mempunyai ciri khas tersendiri.

“Faktor utama dibalik ini adalah memang dunia sedang [ancaman] resesi sesuai dengan perkiraan para pakar ekonomi,” terang dia.

Ketua Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK), Tafip Harjono, menyebut dampak sepinya di Pasar Tanah Abang tidak begitu terasa di Pasar Klewer. Sebab, di sana kebanyakan menjual produk lokal Solo.

Justru, menurut Tafip terjadi peningkatan pengunjung akhir-akhir ini Pasar Klewer karena ada Sekaten, terutama saat akhir pekan.

Lesunya industri perdagangan juga disebut oleh Ketua Himpunan Peritel Penyewa Pusat Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Jawa Tengah (Jateng), Liliek Setiawan, kepada Solopos.com beberapa waktu lalu.

Setelah terpukul karena pandemi, sektor ritel juga menghadapi tantangan besar. Lileik menilai masyarakat masih belum sepenuhnya berani untuk memasuki pusat perbelanjaan. Jadi, menurut dia sektor ritel saat ini lebih banyak terdukung melalui online daripada offline.

Fenomena merek-merek besar yang ekspansi di luar pusat perbelanjaan dan memilih mendirikan outlet sendiri juga menjadi kesulitan bagi pihak peritel. Hal tersebut terjadi pada merek besar pada sektor food and bevarage (FnB) sepert McDonalds, Yoshinoya, Hokben.

Setelah sektor FnB mulai meninggalkan pusat perbelanjaan, kemudian disusul dengan merek besar seperti Miniso dan Mr DIY. Liliek menilai merek besar tersebut telah memiliki merek ternama sehingga konsumen bakal mengikuti dimana pun market mereka.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif