Rachmat Gobel Sayangkan Masih Terjadi Impor Pakaian Bekas di Indonesia

Solopos.com, JAKARTA-Wakil Ketua DPR  Bidang Korinbang, Rachmat Gobel, menyayangkan Indonesia masih melakukan impor pakaian bekas. Padahal sesuai aturan yang berlaku hal itu tidak dibenarkan.

Menurutnya hal ini bisa merugikan industri garmen rumahan yang berskala UMKM. “Ini sangat merugikan industri garmen rumahan yang berskala UMKM dan juga tidak ramah lingkungan,” katanya dalam siaran pers yang diterima Solopos.com pada Jumat (10/6/2022).

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Seperti diberitakan media, impor pakaian bekas masih marak terjadi dengan nilai triliunan rupiah di Indonesia. Angkanya terus meningkat sejak 2017. Padahal sesuai Permendag No 51/M-DAG/PER/7/2015, impor pakaian bekas dilarang dan jika sudah masuk harus dimusnahkan. Hal itu juga diatur dalam UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Di negeri asalnya, kata Gobel, pakaian bekas berkategori limbah dan sampah. Selain itu, katanya, tak semua pakaian bekas itu bisa layak pakai dan akan menjadi sampah bagi Indonesia. “Di sini kita sebagai bangsa harus menjaga dignity sebagai bangsa. Indonesia bukan bangsa sampah. Ini yang saya maksud tentang moralitas bangsa. Di mana wajah Indonesia diletakkan dalam konteks ini,” katanya.

Baca Juga: Rachmat Gobel Dorong Milenial Jadi Penggerak Ekonomi Halal

Menurut Gobel, selain ada faktor kesehatan sebagai efek impor pakaian bekas, Indonesia juga harus mempertimbangkan aspek moralitas bangsa dan aspek pemihakan kepada industri nasional.  Gobel mengatakan, industri garmen rumahan dan skala UMKM merupakan salah satu pilar kekuatan ekonomi nasional.

“Sektor ini menyerap banyak tenaga kerja dan menjadi salah satu penggerak ekonomi di lapis bawah sehingga sangat berpengaruh dalam mengangkat kemiskinan. Ingat, Bapak Presiden Jokowi selalu berpesan tentang membangun dari pinggiran. Itu artinya membangun dari desa dan dari bawah. Impor pakaian bekas tentu bertentangan dengan visi Bapak Presiden dan memperburuk ekonomi di lapis bawah serta melemahkan UMKM,” katanya.

Membangun industri, kata Gobel, membutuhkan kreativitas dan intelektualitas. “Bukan seperti impor pakaian bekas tersebut. Tak butuh kreativitas dan intelektualitas yang tinggi untuk impor pakaian bekas. Sedangkan membangun industri garmen, walau berskala rumahan dan UMKM tetap membutuhkan kreativitas dan intelektualitas. Harus bisa memahami desain, mengikuti tren, membaca pasar, manajemen industri, manajeman sumber daya manusia, dan sebagainya,” katanya.

Baca Juga: Rachmat Gobel Ajak Budayakan Pancasila demi Sejahtera Bersama

Ia mengakui bahwa industri garmen rumahan memang berskala kecil dan sederhana, namun itu akan menjadi wawasan dan pengalaman bagi dirinya, bagi anak-anaknya, dan bagi masyarakat sekelilingnya. Hal ini, katanya, tentu tak bisa dibandingkan dengan skill importir pakaian bekas yang hanya membutuhkan koneksi dengan para pemegang kekuasaan dan kekuatan modal saja. “Jangan lupa dari yang kecil akan menjadi besar,” katanya.

Namun hal yang lebih penting lagi, kata Gobel, kemampuan membangun industri sekecil apa pun akan memiliki dampak bagi keluarga dan masyarakat sekelilingnya. “Bukan sekadar menghidupkan ekonomi komunitas, tapi juga yang utama adalah membangunkan kewarasan publik,” katanya.

Baca Juga: Rachmat Gobel Sebut Negara Kalah dan Gagal Soal Minyak Goreng

Ia mengingatkan bahwa industri garmen rumahan biasanya dipicu oleh satu orang lalu akan ditiru oleh komunitas di lingkungannya. Karena itu, industri garmen rumahan, katanya, selalu tumbuh dalam suatu kelompok masyarakat. “Kita jangan membunuh ekonomi masyarakat hanya untuk mengimpor barang yang di negeri asalnya sudah dikategorikan sebagai sampah,” paparnya.