SOLOPOS.COM - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sekaligus Ketua Komisi Yudisial Indonesia periode 2016-2018, Prof Dr Aidul Fitriciada. (Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sekaligus Ketua Komisi Yudisial Indonesia periode 2016-2018, Prof Dr Aidul Fitriciada Azhari, menanggapi putusan Pemerintah Indonesia yang telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker).

Menurut Prof Aidul, terdapat dua kritik utama yang muncul di tengah publik terhadap penerbitan Perppu Ciptaker yaitu sebagai bentuk kebijakan otoriter pemerintah dan pelibatan masyarakat dalam pembentukan perppu.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

“Pertama, tindakan Pemerintah tersebut merupakan bentuk kebijakan otoriter dan pembangkangan terhadap konstitusi. Ke dua, penerbitan Perppu Ciptaker bertentangan dengan perintah MK untuk memperbaiki proses pembentukan UU Ciptaker berdasarkan asas partisipasi yang bermakna,” kata Aidul yang juga Kaprodi Magister Ilmu Hukum UMS itu, Selasa (3/1/2023).

Langkah drastis dilakukan Pemerintah dalam menerbitkan Perppu Ciptaker dengan tanpa melalui prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah diatur oleh DPR.

Peraturan pembentukan Perppu diatur dalam Pasal 22 UUD 1945, di mana Presiden memiliki hak untuk menetapkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa tetapi tetap berdasarkan izin dari DPR.

DPR dapat menyetujui atau menolak Perppu jika berpedoman pada Putusan MK Putusan Nomor 198/PUU-VII/2009. Tidak terlibatnya DPR dalam pembentukan Perppu Ciptaker menjadi lubang dalam prosedur pembentukan perppu sehingga perppu hanya menjadi parameter subjektif dari pemerintah saat ini.

“Dengan adanya parameter objektif yang ditafsirkan MK dan harus menjadi pedoman bagi DPR untuk menyetujui atau menolaknya, maka penetapan Perppu bukan lagi tindakan otoriter karena terdapat pembatasan yang ditetapkan oleh Konstitusi, lewat wakil rakyat,” kata Aidul.

Selain menjadi salah satu bentuk kebijakan otoriter, tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia juga tidak mengindahkan asas partisipasi bermakna dalam pembentukan perppu.

“Bagaimana halnya dengan kesesuaian pada asas partisipasi yang bermakna?” tanyanya lagi.

Guru Besar Ilmu Hukum UMS itu mengatakan bahwa partisipasi yang bermakna dapat dilakukan pada tahap pembahasan RUU tentang penetapan Perppu serta partisipasi yang bermakna dapat pula dilakukan pada tahap persetujuan antara DPR dan Presiden.

“Maka partisipasi yang bermakna sedikitnya pada tahap pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu Ciptaker, pembahasannya di DPR, dan persetujuan antara DPR dan Presiden mengenai UU tentang Penetapan Perppu Ciptaker. Pada tahap-tahap itulah masyarakat dapat berpartisipasi secara bermakna untuk menguji secara objektif atas penilaian subjektif Presiden tentang kegentingan yang memaksa,” jelas Aidul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya