SOLOPOS.COM - Pemudik berjalan keluar dari kapal di Pelabuhan Merak, Kota Cilegon, Banten, Sabtu (13/4/2024). PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) memprediksi puncak arus balik dari Pulau Sumatera menuju Pulau Jawa terjadi pada tanggal 13 sampai 14 April. (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/nz)

Solopos.com, SOLO — Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, menilai kejadian selama musim Lebaran 2024 mencerminkan kondisi sesungguhnya kinerja transportasi di Indonesia.

Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat tersebut menyatakan angkutan umum pelat hitam (travel gelap), sopir bus mengantuk, calo tiket di pelabuhan penyeberangan adalah contoh aktivitas dalam penyelenggaraan transportasi dalam keseharian.

Promosi Telkom Apresiasi Wahyu, Warrior Telkom Akses yang Viral karena Bantu Petani

Menurut Djoko, pembenahan di Pelabuhan Penyeberangan Merak harus segera dilakukan. Antrean kendaraan yang menyebabkan kemacetan di Pelabuhan Merak sampai 6 kilometer (km) di jalan tol menuju Merak perlu diantisipasi ke depan.

“Masih adanya petruk [pengatur truk], calo tiket, harus dihilangkan baik di semua pelabuhan penyeberangan. [Perlu] Menyediakan lokasi parkir kendaraan sebagai pengendali sebelum memasuki Pelabuhan Penyeberangan Merak. Lokasi yang disiapkan sebagai area penyangga [buffer zone] untuk sejumlah kendaraan yang akan menyeberang ke Pelabuhan Penyeberangan Merak,” terang dia dalam keterangan resmi, Minggu (21/4/2024).

Di lokasi tersebut, lanjutnya, perlu dilakukan pemeriksaan kendaraan, baik tiket maupun waktu keberangkatannya. Dia berharap arus kendaraan menuju Pelabuhan Penyeberangan Merak bisa diatur.

Selain itu, dia menyaranka program mudik gratis menggunakan bus bisa diperbanyak dari Jabodetabek ke semua ibu kota kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Djoko menyebut penyelenggaraan mudik gratis masih perlu dibenahi.

Dia mengakui angkutan mudik dan balik gratis mampu meminimalisasi risiko kepadatan lalu lintas. Faktor keselamatan juga lebih terjamin, ada pengecekan kondisi kendaraan sebelum keberangkatan, termasuk pengemudinya.

“Jika mereka tidak mudik dengan angkutan publik, dibayangkan saja satu bus itu ada berapa orang,” kata dia.

Namun, di balik segala keuntungannya, program itu masih menyisakan masalah pengelolaan. Dari hasil penelusuran, ada sebagian pemudik yang mendaftar angkutan gratis ke lebih dari satu penyelenggaran. Namun, pada akhirnya hanya satu penyelenggara yang dipilih.

“Yang kasih bingkisan paling banyak nanti yang dipilih [pemudik], sedangkan nama mereka yang sudah terdaftar tidak dapat digantikan. Ini memunculkan risiko pembatalan keberangkatan angkutan gratis. Masalah itu terjadi akibat banyak penyelenggara mudik gratis. Di satu sisi, pengawasan cukup ketat hanya dilakukan program yang diadakan pemerintah. Penyelenggara swasta cenderung minim pengawasan,” ujarnya.

Oleh sebab itu, kata Djoko, ke depan para penyelenggara mudik gratis saling bersinergi. Setidaknya, sinergi itu dapat ditunjukkan dalam urusan pendaftaran. Urusan itu menurut Djoko sebaiknya dilakukan melalui satu kanal atau situs yang sama.

Jadi, siapa pun yang menyelenggarakan mudi gratis bisa diketahui pemerintah dan tersambung dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Lewat cara itu, menurutnya, pengawasan gelaran mudik dan balik gratis mampu dilakukan secara optimal.

“Ada data terpadu yang dijadikan acuan Bersama. Jika masuk satu kanal, negara bisa mengerti kebutuhannya,” lanjutnya. Djoko menjelaskan anggaran program ini dapat dinaikkan karena melihat manfaat program ini bagi masyarakat. Hal ini bisa menjadi database pemerintah dalam untuk perencanaan berikutnya.

Terlepas dari segala kekurangannya, mudik dan balik gratis masih didambakan masyarakat. Bahkan, sebagian orang mengainginkan kuotanya ditambah setiap tahun. Perbaikan layanan mesti terus dilakukan pemerintah sebagai bentuk perhatiannya kepada warga.

Dalam kesempatan yang sama, Djoko menyebut penyelenggaraan angkutan motor gratis perlu dipertimbangkan untuk dihilangkan dan diganti untuk menambah mudik gratis menggunakan bus.

Karena, menurut Djoko, program ini tidak banyak berpengaruh untuk mengurangi pemudik motor, apalagi jumlah motor gratis 17.880 unit tidak lebih dari 1% yaitu hanya 0,3% dari jumlah pemudik motor sebanyak 6.578.660 unit sepeda motor keluar masuk Jabodetabek.

Sementara itu, untuk mengantisipasi berulangnya kecelakaan akibat kendaraan di jalur berlawanan arah contraflow, belajar dari kasus KM 58 yang mengakibatkan 12 orang meninggal dunia, Djoko menilai perlu ada sosialisasi masif sebelum pelaksanaan.

Kondisi pengemudi harus fit dan memastikan kendaraan tetap di lajur kiri dan lajur kanan untuk mendahului, batas kecepatan maksimal 60 km per jam.

Perlu juga menjaga jarak dan mematuhi rambu lalu lintas, jika terjadi kerusakan kendaraan berhenti di jalur kiri dan segera menghubungi pusat pelayanan petugas untuk meminta bantuan. Pemudik perlu memastikan kendaraan prima dengan bahan bakar minyak (BBM) terisi penuh atau keterisian baterai mencukupi.

Dia menyebut pembatas jalan untuk mengamankan kendaraan dipasang lebih rapat dari semula 30 meter menjadi setiap 10 meter. Perlu juga disiapkan mobil pengaman serta pemadam kebakaran dan mobil derek untuk mengantisipasi kecelakaan yang dapat mengakibatkan kebakaran.

Selain itu, kecelakaan maut di KM 58 Tol Jakarta-Cikampek harus menjadi momentum menertibkan angkutan gelap. “Harus ada ketegasan dari aparat dan pemerintah untuk menertibkan angkutan gelap ini. Bukan hanya penindakan hukum, tetapi juga menyelesaikan sampai ke akar masalahnya,” tegasnya.

Penyelesaiannya juga harus dilihat dari semua sisi. Di satu sisi, masyarakat di pedesaan membutuhkan angkutan gelap semacam ini. Mereka memberi fasilitas mengantar dan menjemput sampai ke depan rumah penumpang yang tak terjangkau angkutan publik.

Namun, di sisi lain, angkutan ini luput dari sistem pengawasan transportasi umum. Ketegasan pemerintah dibutuhkan agar kecelakaan angkutan gelap yang menelan korban jiwa tidak terjadi lagi.

Djoko menilai perlu adanya layanan angkutan umum hingga pedesaan, kemudian angkutan tidak berizin baru diberantas. Menurut Djoko akar masalah belum terintegrasi sistem transportasi di Indonesia adalah minimnya layanan angkutan perdesaan, angkutan perkotaan, angkutan kota dalam provinsi (AKDP) dan angkutan perintis.



“Selain itu, negara tidak lagi memproduksi sepeda motor dengan isi silinder lebih dari 100 cc. Harus dilakukan, sehingga dalam lima tahun ke depan di musim Lebaran penggunaan kendaraan pribadi bisa berkurang, minimal tidak bertambah sudah bagus,” kata dia.

Djoko juga menyebut kecelakaan Bus Rosalia Indah di km 370 Tol Semarang-Batang menyebabkan tujuh orang meninggal dunia juga menjadi evaluasi.

Menurut hasil investigasi KNKT, sebanyak 80% kecelakaan di Indonesia disebabkan sopir mengantuk. Penyediaan tempat istirahat di terminal, lokasi wisata, penginapan bagi sopir angkutan umum, serta kampanye masif perlu dilakukan.

“Di samping itu, perlu mewajibkan semua kendaraan berperjalanan jarak jauh untuk menggunakan sabuk keselamatan. Pemeriksaan kondisi bus dan pengemudinya juga dilakukan secara rutin di setiap terminal sebelum berangkat,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya