SOLOPOS.COM - Pengamat Ekonomi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Bhimo Rizky Samudro, SE, M.Si, PhD. (Istimewa).

Solopos.com, SOLO — Pengamat Ekonomi Universitas Sebelas Maret (UNS), Bhimo Rizky Samudro, menyebut, adanya calo tiket merupakan bentuk kegagalan pasar.

Ia juga menjelaskan, adanya calo tidak lepas dari tingginya permintaan untuk mendapatkan kemudahan dalam memperoleh tiket.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Bhimo menjelaskan kepada Solopos.com, Senin (22/5/2023), kemudahan saat membeli kepada calo memang menjadi salah satu alasan. Ia menilai, perlu ada regulasi ketat untuk mencegah praktik calo yang selama ini terus menjamur.

“Perlu melihat apakah adanya aturan yang bisa mereduksi praktik calo ini, perlu dipahami adanya calo ini praktik yang jamak adalah pola-pola perantara distribusi pengatur mempercepat atau memperlambat distribusi. Ini ada kaitannya dengan adanya permintaan dari masyarakat terhadap suatu barang,” ujarnya.

Bhimo menyebut, kegagalan pasar untuk mempertemukan antara produsen dan konsumen secara langsung dimanfaatkan oleh pihak ketiga atau calo. Ia menjelaskan, calo menetapkan sejumlah biaya transaksi tanpa ada dasar dari mekanisme pasar.

“Ini adalah bentuk kegagalan pasar di mana produsen gagal menemukan konsumen secara langsung, sehingga ada pihak ketiga atau calo yang menetapkan harga jasa. Harga jasa ini sebenarnya tidak memiliki ketetapan, karena memang berdasarkan dari penilaian subjektif, bukan berdasarkan pasar,” tegasnya.

Bhimo melanjutkan, perlu ada pengetatan regulasi untuk menghindari praktik calo ini. Ia menilai, sistem saat ini masih bisa diakali sehingga membuat calo bermunculan dan merugikan konsumen dalam mendapatkan barangnya.

“Calo bisa muncul karena tidak ada regulasi, kalau melihat dari lecture dan urgensinya, jelas ada, karena demand yang tinggi. Perlu ada yang mengatur lebih baik dari sistem sekarang. Misalkan, sistemnya antre tapi bertemu dengan supplier secara langsung, sehingga barang yang diinginkan bisa sampai tanpa ada pihak ketiga,” ulasnya.

Bhimo menyebut, praktik online selama ini masih belum bisa secara optimal mengurangi praktik calo. Ia menyebut, terbukti para calo masih terus bisa bertransaksi meskipun sudah ada sistem online untuk mendapatkan tiket.

“Sistem online saya rasa masih belum optimal, terbukti ternyata masih banyak calo yang bisa mendapatkan tiket yang kemudian dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi, ini perlu pembenahan supaya praktik calo bisa dihapus,” tambahnya.

Sedangkan, Salah satu calo tiket Coldplay bernama Dira menjelaskan saat dihubungi Solopos.com, Senin (22/5/2023), menyebut juga harus ikut ticket war bersama dengan penggemar Coldplay lainnya.

“Konser Coldplay ini beda dibandingkan saat group band Korea datang. Calo juga enggak bisa mengandalkan orang dalam apalagi sekarang lebih modern untuk pembelian tiketnya, Saya juga akhirnya harus ticket war, tapi dengan cara yang memang banyak dilakukan calo, misalkan pakai dua device untuk ticket war sama pakai LAN bukan wifi,” jelasnya.

Dira menyebut, margin keuntungan yang didapatkannya untuk satu lembar tiket bervariasi. Ia menjelaskan mematok margin minimal Rp700.000 hingga Rp3 juta. Dira mengaku, harga tiket yang dijualnya akan terus meningkat hingga H-7 konser.

“Kalau margin keuntungan tergantung kategori, misalkan kategori satu ya saya matok margin Rp700.000, kalau yang kategori My Universe saya marginnya Rp2 juta, kalau Ultimate Universe sekitar Rp3 juta,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya