SOLOPOS.COM - Ilustrasi pembangkit listrik tenaga surya. (Bisnis.com)

Solopos.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat, potensi energi baru dan terbarukan (EBT) di dalam negeri paling besar masih bersumber dari tenaga surya dengan total potensi 208 gigawatt (GW).

Sementara itu, potensi EBT lainnya seperti hidro dengan potensi 75 gw, angin 60,6 gw, bioenergi dengan potensi 32,6 gw, dan panas bumi 23,9 gw, serta potensi dari energi laut dengan potensi 17,9 gw.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Mengacu pada sumber potensi yang dimiliki Indonesia tersebut, tidak heran apabila pemerintah menggantungkan harapannya melalui pengembangan pembangkit listrik tenaga surya untuk mencapai target bauran energi dan juga target penurunan emisi karbon.

Baca Juga: Sumber Energi di Jateng Berlimpah Dukung Pengembangan Kawasan Industri

Namun, harapan besar itu belum sejalan dengan capaian pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang hanya mencapai 0,1 persen dari total potensi yang ada. Padahal, jika dilihat dari total kapasitas pembangkit EBT yang terpasang masih didominasi oleh pembangkit listrik tenaga hidro dengan total 6,14 gigawatt dari total potensi 75 gw.

Sementara itu, kapasitas terpasang pembangkit EBT terbesar lainnya adalah bersumber dari panas bumi dengan total 2,13 gw dari total 23,9 gw, serta diikuti oleh pembangkit listrik tenaga bioenergi 1,9 gw dari total 32,6 gw.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif tidak menampik pemanfaatan energi surya masih sangat rendah. “Saat ini hanya 31 megawatt padahal ada potensi 32.000 megawatt,” ungkapnya.

Baca Juga: Jateng Ternyata Kaya Sumber Energi Baru dan Terbarukan Ramah Lingkungan

Arifin mengatakan, salah satu permasalahan yang membuat rendahnya pemanfaatan PLTS adalah kendala dalam pengadaan lahan. Menurut dia, pemerintah terus mengkaji jalan keluar guna mengatasi permasalah itu.

Dia mengungkapkan persoalan tarif listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi baru dan terbarukan masih menjadi perhatian pemerintah salah satunya tarif listrik dari PLTS yang masih belum ekonomis.

Menurut dia, persoalan itu muncul di antaranya disebabkan oleh masalah akuisisi lahan yang akan digunakan untuk pemanfaatan PLTS. Pasalnya, PLTS memerlukan lahan yang luas untuk dimanfaatkan.

“Ini juga diperlukan satu aturan kalau dimanfaatkan untuk keberpihakan ke rakyat maka tanah-tanahnya tidak terlalu mahal atau ada skema-skema yang tidak beratkan production cost untuk electricity tersebut,” ungkapnya.

Baca Juga: Memotret PLTP Dieng, Sumber Energi Terbarukan yang Ramah Lingkungan

Di samping itu, menurutnya perlu peranan lintas sektor untuk mewujudkan pengembangan PLTS yang ekonomis. Dalam Rancangan Undang-Undang EBT, sejumlah kementerian dan lembaga turut dilibatkan guna mendapatkan kebijakan yang tepat.

Arifin mengatakan peran lintas sektor diperlukan guna menghidupkan industri dari tenaga surya agar bisa menekan biaya produksi dari tingginya harga investasi peralatan.

“Terkait sektor lain misalnya dengan perindustrian, keuangan bagaimana impor kompononen bisa lebih murah,” ungkapnya.
Kendati demikian, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 1.478 MW dengan kenaikan rata-rata sebesar 4 persen per tahun.

Target Ambisius Sampai 2025

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan pembangkit EBT bisa melalui energi surya. Untuk itu, dengan masih rendahnya pemanfaatan energi surya, pemerintah akan terus menggenjot pemanfataannya.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai pengembangan PLTS masih menjadi salah satu energi bersih yang sangat potensial untuk dikembangkan karena memiliki perkembangan yang sangat pesat jika dibandingkan dengan sumber EBT lainnya.

Fabby mengatakan hal yang perlu menjadi perhatian pada saat ini adalah meningkatkan penggunaan PLTS dengan lebih cepat. Menurut dia, dengan kian meningkatnya volume penggunaan PLTS, maka akan semakin memperbaiki keekonomian dari PLTS.

Untuk itu, pemerintah disarankan untuk membuat program nasional PLTS dengan target yang ambisius sampai dengan 2025 guna menumbuhkan penggunaan PLTS atap yang nantinya diharapkan dapat membuka pasar yang membuat harga menjadi lebih kompetitif.

“PLTS atap ini yang berinvestasi adalah pemilik bangunan. Selain itu PLTS skala besar dikembangkan sesuai kemampuan sistem PLN yang mengakomodasi,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya