SOLOPOS.COM - Talkshow Hubungan Internasional Transisi Menuju Renewable Energy di Ruang Aula Gedung I FISIP UNS, Jumat (1/9/2023). Hadir dalam acara tersebut Komisaris PT PLN Eko Sulistyo dan Dosen Hubungan Internasional UNS, Ferdian Ahya Al Putra. (Solopos.com/Maymunah Nasution)

Solopos.com, SOLO – Komisaris PT PLN Indonesia, Eko Sulistyo, mengatakan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Putri Cempo, Mojosongo, Solo, adalah salah satu upaya Solo mengembangkan smart city dengan transisi energi.

Hal tersebut disampaikan Eko dalam Talkshow Hubungan Internasional Transisi Menuju Renewable Energy di Ruang Aula Gedung I FISIP UNS, Jumat (1/9/2023). Dia yakin setelah pengembangan PLTSa Putri Cempo berhasil, kota-kota lain juga akan mengembangkan pembangkit listrik sampah di TPA masing-masing. Eko berharap hal ini juga akan terwujud di Bantargebang, Bekasi, yang merupakan TPA terbesar di Indonesia.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Eko melanjutkan, transisi menuju renewable energy (energi terbarukan) juga tengah dikembangkan Indonesia guna menjawab komitmen Indonesia terhadap Paris Agreement (Traktat Paris) Tahun 2015 mengenai mitigasi, adaptasi, dan keuangan perubahan energi. “Kita sudah mengadopsi dan mengimplementasikannya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, salah satunya adalah transisi energi karena emisi lebih banyak dihasilkan oleh energi itu sendiri,” ujar Eko di hadapan mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS.

Eko mengaku, saat ini Indonesia tengah dalam posisi sulit terhadap Uni Eropa akibat banyak sekali produk ekspor mentah Indonesia yang berasal dari hasil hutan dan kelapa sawit diwajibkan memenuhi ketentuan UU Deforestasi yang diusulkan kelompok tersebut. Namun, dia yakin Indonesia juga memiliki kekuatan dalam transisi energi karena Indonesia saat ini menjadi penyumbang nikel terbesar di dunia.

Eko menyebutkan sumbangan nikel Indonesia kepada pasokan dunia sebesar 20-25%. Menurutnya, pengembangan transportasi listrik dengan baterai berbahan nikel akan membuat Indonesia memiliki kekuatan dalam pengembangan renewable energy.

Dia berpendapat pengembangan baterai listrik di dalam negeri akan membuat Indonesia terlepas dari kutukan sumber daya (resource curse). Eko mengingatkan, transisi energi akan membawa dampak geopolitik yang kuat karena sejarah mencatat banyak konflik antarnegara terjadi akibat perebutan energi.

“Itulah sebabnya ketika ekspor nikel kita olah sendiri agar ada nilai tambah, Eropa berak. Mereka saat ini berlomba memperebutkan mineral kritikan, bahkan Amerika Serikat [AS] sudah mengeluarkan Undang-Undang Reduksi Inflasi yang memberikan tunjangan ratusan miliar dolar agar industri mineralisasi terwujud di AS sehingga mereka memiliki rantai pasok sendiri, tidak bergantung dengan negara lain,” papar Eko.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Hubungan Internasional UNS, Ferdian Ahya Al Putra, mengatakan Indonesia sudah beberapa kali mengalami konflik geopolitik untuk perebutan sumber energi. Dia mencontohkan perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia beberapa tahun yang lalu. Ferdian menjelaskan bahwa konflik tersebut terjadi karena kedua pulau tersebut berada di perairan yang memiliki kekayaan minyak bumi dan gas melimpah.

“Dalam konteks pembangunan, mewujudkan energi nasional akan berkaitan dengan ketahanan negara,” ujar Ferdian. Ferdian juga sepakat bahwa rantai pasok adalah komponen penting yang menjadi pemicu konflik geopolitik akibat energi. Ferdian juga mengingatkan bagi mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UNS agar memahami kompleksitas posisi Indonesia dalam tawar-menawar geopolitik renewable energy terhadap negara-negara lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya