SOLOPOS.COM - Ketua umum Kompartemen Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) Solo, Karsono, saat ditemui di kantornya, Jumat (10/2/2023).(Solopos.com/Gigih Windar Pratama).

Solopos.com, SOLOBank perkerditan rakyat syariah (BPRS) di Solo, terus menggeliat dan membuktikan diri bisa bersaing di dunia perbankan.

Variasi produk dan strategi pemasaran menjadi salah satu kunci bagi BPRS di Solo bahkan Soloraya untuk terus bisa menarik minat nasabah sekaligus menjaga eksistensi.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Meskipun sempat kesulitan saat pandemi Covid-19, BPRS di Soloraya terbukti masih terus mencatatkan keuntungan.

Menurut Ketua umum Kompartemen BPRS Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) Solo, Karsono, kepada Solopos.com, Jumat (10/2/2023), sebanyak delapan BPRS di Soloraya sudah memenuhi modal inti yang ditetapkan OJK sebesar Rp6 miliar.

“BPRS di Solo bahkan Soloraya semua sudah memenuhi persyaratan OJK untuk memiliki modal inti sebesar Rp6 miliar. Meskipun sempat agak kesulitan saat pandemi, tetapi BPRS bisa bangkit cepat bahkan pertumbuhan labanya mencapai dua digit, bandingkan dengan OJK yang menilai satu digit sudah cukup bagi perbankan. Angka NPL [nonperforming loan] kami rata-rata di bawah lima persen,” ucap Karsono.

Karsono yang juga merupakan kepala BPRS Dana Amanah yang terletak di Sondakan, Laweyan, Solo, menyebut pandemi memang menjadi tantangan yang cukup berat bagi dunia perbankan, tidak terkecuali BPRS.

“Misal seperti di BPRS Dana Amanah ini, sempat modal aset Rp41 juta dengan tingkat NPL yang cukup tinggi sampai 18 persen pada Desember 2019. Tetapi angka ini kemudian turun jadi 3,12 persen dan modal kami naik jadi Rp53 juta pada Desember 2020,” tambah Karsono.

Bagi Karsono, BPRS memiliki limitasi yang menjadi tantangan untuk lebih kreatif dalam memasarkan produk mereka.

Selain itu, BPRS di Solo menjadi solid karena adanya limitasi tersebut, kesolidan dan kreatifitas tersebut menjadi modal utama untuk membuat BPRS Solo semakin berkembang.

“Kami harus kreatif karena BPRS itu ada limitasi karena mandiri, misal di bank umum mereka kekurangan modal di saat tertentu mereka bisa melakukan pinjaman ke Bank Indonesia (BI). Sedangkan kalau di BPRS juga BPR kami harus mandiri karena enggak mungkin ada yang meminjamkan modal ke kami,” lanjutnya.

Muncul beragam cara untuk membuat BPRS bisa berkembang, salah satunya mencari pasar yang belum dilirik oleh bank konvensional. BPRS juga bisa membuat produk baru apabila diinginkan oleh pasar namun tidak disediakan oleh bank konvensional.

“Kami punya produk kredit untuk mereka yang magang ke Jepang, di bank konvensional tentu sulit terwujud karena enggak ada jaminan. Sedangkan di sini, kami punya fleksibilitas ke sana karena kami punya kalkulasi, misalkan ia pinjam sekitar Rp15 juta untuk biaya dari pendidikan hingga keberangkatan, kami tinggal memotong Rp2 juta per bulan dalam tempo waktu delapan sampai 12 bulan, jadi mereka yang magang bisa terbantu, kami juga bisa memasarkan produk,” kisahnya.

Selain itu, bagi hasil dari BPRS jauh lebih tinggi dibandingkan bank umum. Sehingga semakin banyak nasabah yang tertarik untuk bisa bergabung ke BPRS.

“BPRS itu sekarang over likuiditas karena bagi hasil kami lebih tinggi dibandingkan bank konvensional. Perbankan itu deviden atau bagi hasilnya biasanya maksimal enam persen, bahkan tahun lalu rata-rata tiga sampai empat persen, di BPRS bisa mencapai delapan persen, tentu ini menjadi menarik bagi nasabah untuk menabung,” tambah Karsono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya