SOLOPOS.COM - Ilustrasi digital banking. (freepik.com)

Solopos.com, SOLO — Dalam tujuh tahun terakhir industri perbankan Indonesia diramaikan dengan kehadiran 13 bank digital baru bentukan perusahaan bank, perusahaan layanan jasa keuangan, maupun perusahaan teknologi finansial.

Jumlah itu pun diyakini akan terus bertambah. Karena dalam waktu satu tahun ke depan, setidaknya ada lima bank digital baru yang akan hadir. Persaingan kian ketat karena bank-bank konvensional pun mulai gencar menghadirkan aplikasi perbankan digital mereka.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Hal tersebut berdasarkan rilis yang diterima Solopos.com dari Contentro PR pada Kamis (17/8/2023).

Wakil Rektor I Universitas Prasetiya Mulya, Agus W. Soehadi menjelaskan akselerasi kemunculan bank digital dan aplikasi digital dari bank konvensional didukung oleh situasi Pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu.

“Terjadi shifting perilaku nasabah, dari yang semula mengandalkan layanan bank di kantor cabang, kini mereka sudah terbiasa menggunakan layanan perbankan digital,” terang Agus yang juga ahli pemasaran ini.

Lebih lanjut Agus menjelaskan selain faktor pandemi yang membuat masyarakat sulit beraktivitas di luar rumah, layananp erbankan digital juga terbukti lebih disukai nasabah.

Hal ini ia ungkapkan dalam diskusi Industrial Talk yang digelar oleh Master Program Prasetiya Mulya di Jakarta, pekan lalu. Dia menguraikan ada berbagai kelebihan bank digital, seperti layanan yang lebih efisien dan tidak perlu mengantre, sehingga lebih menghemat waktu.

Selain itu waktu operasional bank digital juga relatif tak terbatas, tersedia di mana saja dan kapan saja selama telepon seluler nasabah terhubung Internet.

Menurut Agus kebiasaan masyarakat menggunakan layanan bank digital ini akan terus berlanjut meski pandemi sudah berakhir.

Oleh sebab itu, lanjut Agus, prospek bisnisnya pun masih sangat menjanjikan. Terlebih, Indonesia memiliki populasi generasi muda yang sangat besar dan berpotensi menjadi nasabah bank di kemudian hari.

Namun, dengan ketatnya persaingan antar antar-bank digital maupun layanan digital bank konvensional, maka setiap perusahaan harus memikirkan strategi agar bisa bertahan dan tidak ditinggalkan nasabahnya. Ia menguraikan tantangan ke depan perusahaan bank digital adalah menangkap perubahan selera pasar.

Di era bisnis digital ini, ia melanjutkan, keputusan atas suatu produk atau layanan tidak lagi bergantung pada pemangku kebijakan di perusahaan.

Justru, setiap keputusan terkait produk dan layanan harus kembali kepada selera konsumen. Karena, pada akhirnya konsumen yang akan menentukan apakah mereka akan setia menggunakan layanan bank tersebut atau beralih ke bank lain yang dianggap menawarkan ekosistem layanan yang lebih baik.

Agus menganalisis, pada akhirnya layanan bank digital akan mirip satu sama lain. Dengan kondisi demikian, bank harus memikirkan strategi untuk membuat nasabah bertahan.

“Cara lama seperti membakar uang untuk memberikan promosi atau benefit tertentu kepada nasabah sudah tidak terlalu efektif, dan tidak terlalu baik bagi keberlanjutan bisnis,” tambahnya.

Untuk itulah, kemampuan perusahaan menangkap selera pasar saja tidak cukup. Kejelian itu perlu diterjemahkan dalam bentuk inovasi layanan dan produk.

Saat ini, kata Agus, bank-bank digital masih berkompetisi dengan menghadirkan ekosistem layanan dan produk yang lengkap demi memenuhi kebutuhan setiap segmen konsumen.

Cara ini memang terbukti menarik minat konsumen. Karena aplikasi bank digital akhirnya bisa memberikan layanan menyeluruh, mulai dari layanan reguler seperti rekening tabungan, pembayaran digital, maupun pembiayaan.

Menurut Agus beberapa bank juga sudah mengintegrasikan produk investasi dan dompet digital, sehingga nasabah mendapatkan pengalaman lengkap.

Agus menjelaskan inovasi perbankan digital perlu diarahkan kepada layanan dan produk yang lebih terpersonalisasi ke depan.
Maka, nasabah pun akan merasa bank sangat memahami kebutuhan mereka. Hal ini sangat mungkin dilakukan, karena dibandingkan perusahaan bank konvensional, perusahaan bank digital bisa bergerak lebih luwes dan lincah dalam berinovasi dengan dukungan teknologi informasi.

Apalagi saat ini ada teknologi kecerdasan buatan yang bisa dimanfaatkan untuk menganalisa perilaku konsumen. Beberapa jenis layanan dan produk terpersonalisasi yang bisa dikembangkan bank, menurut Agus, antara lain produk investasi yang disesuaikan dengan kondisi keuangan nasabah.

Bisa juga semacam pengingat atau notifikasi atas transaksi rutin setiap nasabah, atau sistem perencanaan keuangan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan personal setiap nasabah.

Menurut Agus, dengan begitu nasabah akan mendapatkan pengalaman yang lebih lengkap dan sesuai dengan profil mereka masing-masing.

Strategi Akuisisi

Direktur Digital dan Operasional PT Bank Raya Indonesia Indonesia Tbk, Bhimo Wikan Hantoro, menguraikan bank digital perlu memikirkan strategi akuisisi konsumen yang tepat. Hal terpenting adalah biaya untuk akuisisi konsumen ini harus jauh lebih rendah dibanding dengan customer lifetime value (CLV) perusahaannya.



Bhimo menjelaskan CLV merupakan indikator yang digunakan untuk menentukan nilai dari pelanggan sebuah perusahaan. Artinya, kata Bhimo, setiap investasi yang dikeluarkan untuk mengakuisisi konsumen harus menghasilkan penggunaan produk secara organik tanpa didorong oleh gimmick marketing yang berlebihan.

Hal lain yang membuat bank digital berbeda dengan bank konvensional adalah aspek costumer journey alias pengalaman nasabah saat menggunakan aplikasinya.

Bhimo sepakat bahwa perusahaan bank digital harus mampu menghadirkan layanan dan produk yang sangat terpersonalisasi bagi para nasabahnya.

Sementara itu, Head of Customer Engagement di PT Bank Jago Tbk, Lena Chow, menekankan bahwa kendati potensi pasar perbankan digital di Indonesia masih sangat besar, tantangan yang dihadapi industri ini juga cukup kompleks. Salah satunya adalah bagaimana bank digital emperluas penetrasi kepada masyarakat.

“Kunci utama untuk memperluas penetrasi ini adalah dengan memperbanyak pengguna ponsel pintar terlebih dahulu,” papar Lena.

Lena menjelaskan berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2022, pengguna ponsel pintar di Indonesia baru sebanyak 192,15 juta orang atau 67,8 persen dari total populasi.

Dari jumlah itu pun, kata Lena, belum semua pengguna ponsel pintar sudah memiliki kebutuhan perbankan digital. Kebutuhan itu baru akan muncul jika masyarakat sudah mulai merasa nyaman dengan internet dan memiliki kebiasaan melakukan transaksi keuangan digital.

“Karena itu, kehadiran bank digital sebetulnya bisa turut membantu meningkatkan literasi keuangan masyarakat Indonesia,” ujar Lena.

Hal tersebut bisa jadi peluang bagi perusahaan bank digital, terlebih hampir 50% masyarakat Indonesia belum menjadi nasabah bank, baik digital maupun konvensional.

Lena menjelaskan kehadiran bank digital bisa mendorong peningkatan jumlah masyarakat yang terlayani oleh perbankan. Sifat bank digital yang fleksibel dan produk yang beragam juga bisa turut meningkatkan literasi keuangan masyarakat.

Masyarakat bisa tahu bahwa layanan bank bukan hanya untuk menyimpan uang, tapi juga untuk memperoleh pembiayaan, investasi, dan lainnya.

Menurut Lena, bank digital bisa memanfaatkan peluang dari kondisi tersebut dengan menyediakan ekosistem layanan menyeluruh bagi konsumennya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya