Bisnis
Sabtu, 1 Juni 2024 - 21:48 WIB

Permendag No. 8/2024 Tuai Pro Kontra, Asosiasi Tekstil Angkat Bicara

Galih Aprilia Wibowo  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi terminal peti kemas (Freepik)

Solopos.com, SOLO–Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah (Jateng) merespons langkah pemerintah merevisi Pemendag Nomor 36 Tahun 2023 dengan menerbitkan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Diketahui, Permendag No. 36/2023 mengatur tentang larangan pembatasan (lartas) barang impor. Namun pembatasan impor dinilai memberatkan beberapa kelompok pelaku usaha. Sementara Permendag No. 8/2024 tidak lagi mensyaratkan pertimbangan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian terkait kebijakan impor.

Advertisement

Wakil Ketua API Jateng, Liliek Setiawan menilai dengan Permendag No. 36/2023 dianggap proporsional dan tampak sedikit pergerakan di industri teksil dan produk tekstil (TPT).

Aturan lartas dalam tidak melarang impor secara penuh. Namun, produk yang mampu diproduksi dalam negeri tidak boleh impor. Importir juga harus mengeluarkan biaya safe guard untuk melindungi kepentingan domestik.

Advertisement

Aturan lartas dalam tidak melarang impor secara penuh. Namun, produk yang mampu diproduksi dalam negeri tidak boleh impor. Importir juga harus mengeluarkan biaya safe guard untuk melindungi kepentingan domestik.

Seiring dengan revisi aturan tersebut menjadi Permendag No. 8/2024, kemudian memperburuk kondisi industri TPT. Kondisi ini juga berimbas ke industri kain, benang, dan serat.

“Yang jadi tidak bisa menaikkan utilisasinya. Saat ini rata-rata masih di kisaran 40% hingga 45% [secara nasional],” kata Liliek saat dihubungi Solopos.com pada Sabtu (1/6/2024).

Advertisement

“Jika 10.000 kontainer tersebut dibebaskan akan ada gelombang susulan dalam waktu tiga hingga enam bulan ke depan, diperkirakan laju kenaikan angka impor akan bertumbuh dua tiga hingga kali lipat,” tambah Liliek.

Hal ini akan membuat produk-produk domestik tidak akan mampu melawan predatory pricing. Predatory pricing adalah perdagangan yang berorientasi untuk menjual barang dengan harga yang lebih murah daripada harga pasar.

Win-win Solution

Lebih lanjut Liliek selaku perwakilan industri TPT menyadari pemerintah, dalam hal ikni Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus mengakomodir kepentingan banyak pihak.

Advertisement

Sebagai pelaku usaha, pihaknya berharap Presiden Jokowi bersedia berdiskusi dengan pelaku usaha. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan win-win solution tanpa mengorbankan industri manufaktur TPT.

Apalagi industri tersebut yang mendukung posisi Indonesia menjadi negara industri terbesar kelima dalam jajaran G20. Namun tidak seiring dengan regulasi yang dibentuk pemerintah.

“Dari dulu Indonesia, ingin jadi negara industri terbesar di dunia. Saat ini kita [Indonesia] menjadi negara industri terbesar kelima di jajaran G20. Dari industri manufaktur, tekstil itu kontribusinya hampir 65%,” ujarnya.

Advertisement

Tekstil juga menyumbang sebanyak 43% tenaga kerja di industri manufaktur dan penyumbang devisa nomor dua setelah minyak dan gas bumi (Migas).

Diberitakan sebelumnya, kebijakan buka tutup impor yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini membuat gerah para pelaku usaha. Adanya kebijakan ini dianggap membuat ketidakpastian dunia usaha.

Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur menyebut banyak pihak yang mempertanyakan dan menyayangkan adanya kebijakan tersebut.

Padahal menurutnya, jika suatu barang sudah bisa diproduksi di dalam negeri, maka sejatinya tidak perlu mengimpor barang yang sama.

“Dengan adanya kebijakan buka tutup ini membuat ketidakpastian berusaha. Baik investor asing maupun dalam negeri bahkan bisa mematikan industri dalam negeri yang saat ini bersusah payah pada tahap recovery setelah terkena imbas pandemi Covid-19 yang lalu,” terang Abdul dalam keterangan resmi, pada Jumat (31/5/2024).

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif