SOLOPOS.COM - Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Dahlia IX Pucangsawit, Solo, Haryatmi menunjukkan koleksi tanaman hias cocodama miliknya di rumahnya, pada Selasa (31/2/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo).

Solopos.com, SOLO — Semakin terbatasnya lahan untuk bercocok tanam di Pucangsawit, Kota Solo, tidak menghalangi Haryatmi untuk meraih cuan dari hasil bertani dengan konsep urban farming.

Pemerintah Kota Solo terus mendorong warga melirik potensi urban farming guna mencukupi komoditas pangan masyarakat. Hal ini juga bertujuan untuk menekan laju inflasi. Urban farming sendiri merupakan usaha pertanian di perkotaan dengan memanfaatkan lahan-lahan terbuka yang ada di sekitar masyarakat.

Promosi Telkom Apresiasi Wahyu, Warrior Telkom Akses yang Viral karena Bantu Petani

Dikutip dari laman, surakarta.go.id, pada Selasa (31/1/2023), urban farming bisa menjadi salah satu solusi bertani di antara hambatan luas tanah pertanian yang semakin menyusut. Karena melalui urban farming, masyarakat bisa bertani di lahan yang terbatas dengan mengoptimalkan pembudidayaan tanam melalui media lain.

Salah satu warga Pucangsawit Solo, Haryatmi, melirik potensi pertanian perkotaan ini. Mengadaptasi tidak adanya lahan kosong atau pertanian yang bisa mengakomodasi keinginannya mengembangkan sektor agraris membuatnya harus memutar otak.

Sebelum terbentuknya Kelompok Wanita Tani (KWT) Dahlia IX pada 2016, ia telah membudidayakan tanaman jahe di kebun tidak terpakai di lingkungan rumahnya. Bermodalkan Rp10 juta dengan ia mengembangkan tanaman jahe tersebut, sebelum akhirnya pada 2016 ia membentuk KWT Dahlia IX yang disarankan oleh pihak kelurahan.

Banyak hal yang harus dikorbankan untuk membentuk KWT ini, dari waktu, tenaga, pikiran, dan uang. “KWT terbentuk 2016, dilirik oleh Dinas Pertanian dan dapat bantuan baru 2018. Sebelumnya butuh modal juga, karena kami enggak bisa grounding, maka butuh polibag, media tanam,” terang Mami, sapaan akrabnya saat ditemui Solopos.com di rumahnya, pada Selasa (31/1/2023).

Tidak mudah mengerakkan anggota KWT tersebut, dari yang awalnya 40 orang, kini hanya tersisa delapan orang yang masih aktif mengikuti kegiatan kelompok. Hal ini dipicu karena kesibukan masing-masing anggota yang lain.

Disinggung mengapa Mami tetap kukuh bergelut dengan urban farming, ia mengaku memang awalnya untuk membantu perekonomian keluarga, karena ia sendiri sehari-hari bekerja dengan membuka jasa laundry. “Kalau bisa, jangan hanya monoton di satu pekerjaan, istilahnya jangan hanya satu pancuran, bangun pancuran yang lain. Jadi harus imbang, memikirkan keluarga dan masyarakat. Saya yakin di mana saya tinggal, saya berkewajiban merawat dan peduli pada lingkungan,” terang Mami.

Mami menguraikan ada tiga tipe kelompok tani, yaitu sejati, merpati, dan pedati. Ia mengaku tidak mau menjadi tipe merpati yang anggota hanya berkumpul ketika ada bantuan, dan ia juga tidak mau menjadi kelompok tani tipe pedati yang hanya berkegiatan ketika disuruh. Namun ia mengaku memilih tipe yang pertama yaitu sejati yang ketika tidak ada bantuan atau tidak ada perintah tetap berusaha membangun dan mengembangkan kelompoknya.

“Kami ini berkembang, secara pelan-pelan dan bertahap. Dari yang awalnya membeli, kini bisa membuat sendiri, hingga menjual,” ujar Mami.

Saat ini ia bersama kelompoknya membangun kebun sayur, tanaman obat dan keluarga (toga), beternak, serta menjual berbagai macam produk olahan pangan serta kerajinan. Ia mencontohkan dulunya ia hanya merintis kelompok tani tersebut dengan cara membeli bibit tanaman hias, kemudian dibudidayakan, dan dijual. Selanjutnya berkembang bisa membuat bibit sendiri, hingga memproduksi pupuk sendiri.

Mami membuat pupuk organik yang berasal dari sampah dapur masyarakat di kampungnya, yang terdiri dari sampah dapur sayur mentah dan sampah dapur makanan. Sampah ini ia beli dari masyarakat seharga Rp100/kg, untuk ia jadikan pupuk organik.

Warga yang menjual sampah ini mempunyai buku tabungan dari hasil penjualan sampah mereka, dan akan menerima hasil penjualan setiap tiga bulan sekali. Sampah makanan tersebut ia buat untuk memproduksi maggot, untuk pakan ternaknya.

Sampah dapur sayuran mentah ia gunakan untuk membuat pupuk organik dengan cara difermentasikan. Ia juga membuka bank sampah khusus bahan anorganik. Setiap dua pekan sekali, beberapa sampah anorganik tersebut ia jual. Sebagian lagi didaur ulang menjadi pot tanaman.

“Kalau untuk warga enggak keberatan juga, daripada dibuang enggak dapat uang Rp100/kg, yang kedua dia juga peduli dengan lingkungan. Secara tidak langsung bisa menekan pengeluaran sampah yang di TPS [tempat pembuangan sampah],” ujar Mami.

Lahan yang ia pakai bersama kelompoknya bukan lahan milik sendiri, namun milik orang lain yang mempersilakan untuk dipakai sebagai lokasi budi daya tanaman.

Dari lahan tersebut, Mami bersama kelompoknya berhasil membudidayakan tanaman sayur, kemudian membuat produk serbuk tanaman toga, jahe, kunyit, dan temulawak, yang ia jual ketika ada event. Ada pula produk olahan lain seperti sambal, peyek, dan lain-lain.

Hasil panen biasanya dikonsumsi sendiri atau bisa dijual ketika ada permintaan. Mami mengaku juga rutin mengadakan program etalase berbagi dari hasil kebun milik mereka.

Selain itu, mereka telah mengembangkan produk tanaman hias cocodama yaitu mengadopsi dari seni kerajinan Jepang, kokedama, koke yang berarti lumut dan dama yang berarti bulat. Ini adalah seni membuat pot untuk tanaman yang praktis dan unik. Seharusnya pot tersebut dibuat dari lumut, namun mereka ganti dengan sabut kelapa, sehingga Mami menamainya dengan coco yang berarti kelapa.

Tanaman hias dengan model kokedama ini bisa digantung ataupun dibuat hiasan di meja. Biasanya mereka menjual dalam rentang harga Rp25.000 hingga ratusan ribu tiap tanaman. Produk mereka biasanya dipasarkan melalui Facebook dan Whatsapp atau ketika event pameran produk mereka biasanya laris terjual.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya