SOLOPOS.COM - Pemilik Cusia by Shibiru, Peni Dinar Sumirat, menunjukkan produk miliknya dalam acara Solo Art Market, di Jalur Pedestrian Jl. Diponegoro, Ngarsapura pada Minggu (5/2/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo),

Solopos.com, SOLO — Perajin asal Temanggung, Jawa Tengah, Peni Dinar Sumirat, 39, berupaya menerapkan prinsip zero waste dalam pembuatan produk fesyen dan kerajinan tangan lain dengan merek Cusia by Shibiru.

Salah satunya yakni dengan menggunakan pewarna alami yang berasal dari tanaman pewarna indigo (biru) yakni strobilanthes cusia. Peni menguraikan produknya merupakan turunan dari Shibiru.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Shibiru merupakan produsen tie dye yang menggunakan pewarna alami indigo (biru) dari fermentasi gula strobilanthes cusia dan daun singkong.

Tanaman pewarna alam indigo yakni strobilanthes cusia diperkenalkan oleh CEO-Founder Shibiru, Fatah Ipung, pada 2016.

Fatah Ipung mencoba menanamnya di media pot, kemudian berhasil tumbuh dengan baik. Hanya, saat musim kemarau pertumbuhannya melambat dan daun menguning.

Kemudian Fatah mencoba eksplorasi untuk menanam di lima titik daerah dengan ketinggian 1.000 hingga 1.300 Mdpl, di lereng Gunung Sumbing, Sindoro dan Prau.

Kini ada 179 petani menanam tanaman perdu ini di bawah pohon jambu dan kopi sebagai tanaman tumpang sari seluas sekitar 65 hektare yang berlokasi di Wonoboyo, Temanggung, Jawa tengah.

Keunggulan produk pasta dan powder indigo Shibiru yakni ramah lingkungan, 100% berasal dari bahan organik, dan non toksik. Bahkan limbahnya berupa air dan daun juga berfungsi menyuburkan tanaman yang lain.

Kerajinan Tangan

Cusia by Shibiru memproduksi beragam kerajinan tangan berupa fesyen, mulai dari kain, tas, topi, gantungan kunci, dan lain-lain. Usaha ini dirintis saat Pandemi Covid-19 pada 2020 lalu.

“Karena waktu itu [2020], produk utama Shibiru pasta perwarna yang supply ke seluruh Indonesia harus mandek karena pandemi. Kami berpikir gimana harus ngopeni petani yang sudah bermitra dengan kami, yang mengharuskan kami membuat roda ekonomi tetap berputar,” terang Peni saat ditemui Solopos.com dalam acara Solo Art Market, di Jalur Pedestrian Jl. Diponegoro, Ngarsapura pada Minggu (5/2/2023).

Kemudian ia mengembangkan kain dengan pewarnaan teknik shibori atau tie dye yakni teknik pewarnaan celup ikat yang idenya biasa dilakukan di Jepang. Sekarang ini ia bekerja sama dengan perajin lokal.

“Waktu itu kami dapat tawaran kurasi dari Bank Indonesia, mereka minta bikin produk lagi yang akhirnya membuat produk kami semakin berkembang. Jadi kami mulai merangkuk perajin macrame, perajut, perajin sandal slippers, kami bisa supply pewarna hingga kain yang memakai produk alami,” ujar Peni.

Peni menjelaskan dengan membuat produk turunan tersebut ia mengaku lebih bisa melakukan edukasi kepada masyarakat dengan cara memaksimalkan penggunaan material bahan kerajinan atau zero waste.

“Jadi misalkan membuat baju, nanti perca bisa dibuat gantuang kunci atau dikombinasikan pada tas. Larutan pewarna juga menghasilkan buih, kami ambil kemudian bisa buat pewarna sabun herbal atau bisa untuk melukis di kanvas dan kertas. Bisa juga ditambahkan resin yang menjadi kancing. Memang kami memaksimalkamb material dan meminimalkan sampah,” terang Peni.

Selain itu, air bekas pewarna tersebut bisa digunakan untuk menyiram tanaman karena ramah lingkungan.

Produk kerajian yang Peni jual dibanderol dengan rentang harga Rp25.000 hingga Rp3 juta. Karya termahal tersebut merupakan kain batik yang dilukis oleh pembatik dari Jepang yang berdomisili di Bantul, Yogyakarta dengan motif yang rumit.  Dalam sebulan ia biasanya menjual ratusan produk.

Sementara itu, untuk pasta pewarna alami, dalam sebulan bisa terjual 500 kilogram dengan harga satu kilogram sebesar Rp90.000.

Tak hanya menjual produk jadi, sekarang ini Peni bahkan telah menjadi supplier pewarna alami di seluruh Indonesia, mulai dari Bali hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).

Produk tersebut juga laku di pasar mancanegara, seperti di Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, dan Jepang. Mantan guru honorer SMA selama sepuluh tahun ini ini ia mengaku lebih menikmati pekerjaan sebagai perajin.

Ia menilai prospek bisnis yang dirintis tersebut lebih menjanjikan walaupun penuh tantangan harus bertemu banyak orang baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya