SOLOPOS.COM - Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Arifin Tasrif, saat menjadi keynote speech Indonesian Energy Transition Dialogue (IETD) 2023, Senin. (Tangkapan layar YouTube IESR Indonesia).

Solopos.com, SOLO — Faktor biaya menjadi salah satu tantangan dalam transisi energi yang tengah diupayakan pemerintah Indonesia saat ini.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Yudo Dwinanda Priaadi, kemudian menekankan pentingnya pendanaan dalam program transisi energi.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Saat ini sudah ada green financing untuk negara-negara yang tengah mengembangkan teknologi transisi energi.

Green financing merupakan dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

Namun, green financing tidak akan diberikan kepada negara-negara yang masih menggunakan batubara sebagai sumber energi. Yudo mengakui, Indonesia masih termasuk negara pengguna batubara bersama Rusia, China, India, Pakistan, dan Bangladesh.

Itu sebabnya, Yudo menegaskan coal retirement atau alih guna dari batubara merupakan program yang harus disusun berikutnya agar Indonesia mendapatkan green financing.

Sementara itu, menurutnya perhitungan dana transisi energi tetap berdasarkan asumsi.

“Sementara itu, reason calculation yang disusun saat G20 India mendapatkan low cost financing dengan angka US$ 4,4 T setiap tahunnya,” ujar Yudo dalam dialog bertemakan Enabling Rapid Power Sector Transformation sebagai sesi pertama pelaksanaan IETD 2023, Senin.

Yudo melanjutkan, angka kebutuhan transisi energi di Indonesia masih bergantung pada teknologi yang dikembangkan. Dia tidak memungkiri, dibutuhkan teknologi mumpuni untuk berhasil melaksanakan transisi energi.

Tansformasi Infrastruktur

Dalam pidatonya di forum Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2023, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, Arifin Tasrif, mengatakan biaya muncul mulai dari tranformasi infrastruktur.

“Kami perlu meningkatkan energi terbarukan di Indonesia dan mengurangi pembangkit berbahan bakar batubara. Oleh sebab itu, Indonesia akan membangun sekitar 700 gigawatt pembangkit energi, ini kami upayakan lewat pembangkit energi bertenaga surya,” ujar Arifin saat menjadi keynote speech IETD 2023 yang diakses Solopos.com via YouTube IESR Indonesia, Senin (18/9/2023).

Arifin meneruskan, nuklir akan menjadi produk komersial pada 2039 mendatang sebagai langkah transisi energi global. Selanjutnya, kapasitas energi terbarukan akan ditingkatkan hingga lebih dari 3.000 gigawatt pada 2060 mendatang.

Dia menjelaskan, Indonesia juga akan menerapkan beberapa strategi dengan sektor publik untuk mengembangkan lebih dari 20 gigawatt energi terbarukan hingga 2030.

Langkah ini diwujudkan melalui peta jalan di 47 lokasi dengan masing-masing kapasitas lebih dari 3,2 gigawatt.

Selain itu, pemerintah juga mengembangkan 20 titik geothermal untuk mengurangi risiko tinggi dan suplai energi bersih dalam kehidupan sehari-hari, meliputi penggunaan mobil listrik, kompor listrik, dan yang lainnya.

Dia menyadari pemberian suplai energi terbarukan memiliki beberapa tantangan, meliputi praktik yang berbahaya, serta memerlukan dukungan dan investasi tinggi sementara dana terbatas.

Demi mewujudkan transisi energi yang adil, menurutnya dibutuhkan kemitraan yang tepat agar pengembangannya juga optimal.

Selanjutnya, Arifin menegaskan mitra perlu diberikan kemudahan untuk mengakses pembiayaan terbaik agar mampu memberikan teknologi terbaik untuk transisi energi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya