SOLOPOS.COM - Ilustrasi geliat obligasi 2013. (JIBI/Bisnis/Dok.)

Solopos.com, SOLO — Berdasarkan rilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Solo, warga Solo maupun Soloraya kian berminat dengan obligasi.

Berdasarkan data OJK, angka single investor identification (SID) pada 2022 secara year-over-year (YOY) menunjukkan peningkatan investor obligasi sebesar 46 persen dibandingkan reksadana sebesar 38 persen dan saham sebesar 27 persen.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Meskipun demikian, dibandingkan reksadana dan saham jumlah investor obligasi secara YOY masih jauh tertinggal. Namun, pertumbuhan investor obligasi yang cukup besar membuat obligasi menjadi tren investasi yang sedang dilirik warga Soloraya.

Menurut Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Solo (UMS) Anton Agus Setyawan kepada Solopos.com pada Minggu (19/2/2023), menyebut obligasi memang menjanjikan keuntungan yang pasti, meskipun secara nominal kecil.

Hal tersebut membuat obligasi diminati oleh masyarakat Soloraya.

“Kalau dibilang obligasi paling aman dalam bahasa ekonominya paling konservatif, paling aman karena jangka panjang, jatuh temponya bisa tiga, lima sampai sepuluh tahun. Jadi mereka yang investasi di obligasi itu memang berminat investasi jangka panjang tanpa berharap keuntungan yang besar atau ekstrem,” ulas Anton.

Selain itu, bagi Anton obligasi lebih terjamin keamanannya karena entitas yang menerbitkan obligasi adalah Negara ataupun entitas swasta yang punya kekuatan ekonomi. Jangka waktu yang panjang juga membuat obligasi lebih stabil dibandingkan saham.

“Secara definisi kita memberi pinjaman kepada entitas yang meneribitkan obligasi, dan berbeda dengan saham yang bisa diperjualbelikan dalam jangka pendek, obligasi bukan tidak bisa tetapi memang sulit. Selain itu olbigasi itu entitasnya dijamin negara, ataupun jika ada sektor swasta, bukanlah sektor swasta yang punya ekonomi lemah, jadi ini yang membuat obligasi lebih aman,” tambahnya.

Mengenai tren  pembelian obligasi, menurut Anton, tren obligasi saat ini tetap ke obligasi milik pemerintah karena dinilai investor lebih stabil.

“Kalau trennya lebih ke obligasi Negara karena memang lebih stabil,” ulasnya singkat.

Sedangkan menurut Shafira Putri dari Syailendra Capital kepada Solopos.com pada Senin (13/2/2023), tren yield obligasi pemerintahan daam 10 tahun terakhir bergerak sejalan dengan fed fund rate yang minggu ini mencapai 4.50 hingga 4.75.

Pergerakan yield 10Y mempengaruhi imbal hasil obligasi, rata-rata imbal hasil obligasi korporasi dan negara adalah 4,6 persen ketika yield turun (negatif) dan 2,3 persen ketika yield bergerak flat dan 1,4 persen ketika yield naik atau positif.

“Untuk memanfaatkan momen ini investor bisa berinvestasi pada reksa dana Syailendra Pendapatan Tetap Premium (SPTP) yang aset alokasinya mayoritas ke obligasi korporasi (56.9%), obligasi negara (24.1%) dan instrumen pasar uang (19.0%),” ulas Shafira.

Alasan mengarahkan obligasi milik korporasi dibandingkan milik negara, karena kedua obligasi tersebut memiliki nilai terbalik secara kinerja jika menggunakan yield sebagai acuan.

Sehingga di saat pergerakan obligasi flat, lebih menguntungkan untuk berinvestasi di obligasi korporasi.

“Kinerja kedua tipe obligasi berbanding terbalik dengan pergerakan yield acuan. Secara rata-rata, ketika yield turun, return obligasi lebih tinggi di banding return saat yield bergerak flat atau naik. Saat yield acuan flat, return enam bulan aset obligasi korporasi (+2.5%) lebih diuntungkan dibandingkan dengan obligasi negara (2.1%),” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya