SOLOPOS.COM - Ilustrasi pergerakan saham. (Nurul Hidayat/JIBI/Bisnis)

Solopos.com, JAKARTA – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai Bank Indonesia (BI) sebaiknya mempertahankan suku bunga acuannya atau BI rate pada Februari 2024 untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

“Mengingat The Fed tidak akan menurunkan suku bunga kebijakannya dalam waktu dekat, kami menilai BI sebaiknya mempertahankan BI rate di level 6 persen bulan ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar,” ujar Kelompok Kajian Kebijakan Makroekonomi, Keuangan, dan Ekonomi Politik LPEM FEB UI.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

Dalam rilis yang diterima di Jakarta, Selasa, kelompok kajian yang terdiri dari ekonom UI Jahen F. Rezki, Teuku Riefky, dan Faradina Alifia Maizar tersebut menyatakan bahwa kecil kemungkinan The Fed akan menurunkan suku bunganya pada Maret 2024.

Bank sentral Amerika Serikat tersebut telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunganya pada kisaran 5,25 hingga 5,50 persen pada Januari 2024. Hal ini menandai empat bulan berturut-turut The Fed tidak mengubah suku bunganya.

Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa penurunan suku bunga pada bulan Maret tidak mungkin terjadi, kecuali ada jaminan target inflasi Amerika Serikat sebesar 2 persen tercapai.

Kecilnya kemungkinan The Fed menurunkan suku bunga membuat nilai tukar rupiah cenderung melemah. Rupiah terdepresiasi sebesar 1,69 persen (y-t-d) menjadi Rp15.655 per dolar AS pada 16 Februari 2024.

Dibandingkan negara-negara lain di kawasan, rupiah menujukan kinerja yang kurang baik. Nilai depresiasi rupiah lebih besar daripada rupee India, peso Filipina, dan yuan Tiongkok.

“Oleh karena itu, mempertahankan BI rate mungkin merupakan sikap paling bijak dalam Rapat Dewan Gubernur mendatang,” kata kelompok kajian LPEM FEB UI itu.

Di sisi lain, Pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) secara historis memberikan penguatan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

“Kami cukup optimis kalau kita lihat dari sisi historical data pemilu sebelum-sebelumnya, dari pengalaman atau historical data pemilu-pemilu sebelumnya itu justru malah mendongkrak IHSG,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (20/2/2024) seperti dilansir Antaranews.

Ia menuturkan satu hari setelah pelaksanaan pemilu 2024, IHSG naik 1,3 persen secara harian. Kemudian, berdasarkan data pada 16 Februari 2024, IHSG naik 1,74 persen secara harian. Oleh karenanya, ia optimistis terhadap prospek pasar modal pascapemilu.

Meskipun optimistis, tetap perlu untuk memperhatikan kondisi pasar global saat ini karena adanya pelemahan ekonomi dunia dan tensi geopolitik.

“Tentunya optimisme tersebut, kita juga mesti melihat kondisi pasar global dengan pelemahan global dan juga tensi geopolitik saya pikir ini juga kita mesti harus mengkalkulasi terhadap target-target 2024,” ujarnya.

Pasar saham Indonesia sampai dengan 16 Februari 2024 masih menunjukkan penguatan di tengah perlambatan ekonomi global, di mana IHSG menguat 0,86 persen year to date (ytd) ke level 7.335,55, serta membukukan net buy sebesar Rp20,05 triliun ytd.

Sementara, indeks pasar obligasi Indonesia Composite Bond Index (CBI) pada 16 Februari 2024 menguat 0,60 persen ytd ke level 376,87.

Di sisi lain, antusiasme penghimpunan dana di pasar modal juga masih terlihat, tercatat nilai penawaran umum sebesar Rp12,34 triliun dengan emiten baru tercatat sebanyak 11 emiten hingga 16 Februari 2024.

Sementara itu, Chief Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto menilai perkembangan perekonomian dan geopolitik dunia lebih berdampak terhadap geliat pasar modal Indonesia dibandingkan hasil pelaksanaan Pemilu 2024.

“Sebetulnya tantangan yang masih sangat besar di tahun 2024 dan 2025 adalah kinerja pasar kita, IHSG, dan rupiah akan sangat dipengaruhi secara signifikan oleh arah suku bunga di Amerika Serikat,” ujar Rully Arya Wisnubroto di Jakarta, Selasa.

Selain suku bunga bank federal AS, menurutnya tingkat inflasi serta proyeksi perlambatan ekonomi di negara-negara maju juga amat berpengaruh terhadap kondisi makro ekonomi Indonesia.

Ia mencatat bahwa kondisi perekonomian global tersebut juga berpotensi menurunkan harga komoditas sehingga akan memengaruhi neraca perdagangan Indonesia.

Selain itu, Rully menuturkan situasi kondisi geopolitik dunia yang semakin memanas serta banyaknya kekuatan ekonomi dunia yang juga melaksanakan pemilu tahun ini dapat meningkatkan ketidakpastian ekonomi global.

Ia mengatakan bahwa IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada 2024 dan 2025 cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata 20 tahun terakhir sebelum pandemi.

“Jadi, kalau rata-rata 20 tahun terakhir sebelum pandemi itu di kisaran 3,5 sampai 4 persen, selama dua tahun mendatang mungkin hanya akan tumbuh 3,1, hingga 3,2 persen,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya