SOLOPOS.COM - Ilustrasi anggrek dendrobium (Freepik).

Solopos.com, SOLO — Peluang pasar anggrek lokal atau dalam negeri saat ini terbilang menjanjikan. Walau begitu, Indonesia masih terus mengimpor anggrek dari luar negeri.

Meski Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah anggrek yang tinggi, ternyata impor anggrek Indonesia hingga 2019 cenderung meningkat, terutama impor dalam bentuk tanaman, mencapai US$2 juta pada 2019.

Promosi Kinerja Positif, Telkom Raup Pendapatan Konsolidasi Rp149,2 Triliun pada 2023

Pembudidaya anggrek, Yanuar Mahir Hermawan, menjelaskan peluang pasar anggrek dalam negeri sangat menjanjikan. “Setiap saat jenis selalu update dan selalu ada silangan baru sehingga konsumen selalu dimanjakan berbagai macam pilihan yang tidak pernah membuat bosan,” terang Yanuar saat dihubungi Solopos.com pada Minggu (30/7/2023).

Yanuar juga menjelaskan keistimewaan anggrek di Indonesia salah satunya sangat beragam, didukung dengan wilayah Indonesia terdiri dari berbagai macam pulau, sehingga varietasnya sangat banyak. Serta hampir 50% indukan yang dipakai luar negeri untuk diperjualbelikan semua berasal dari Indonesia.

Sementara itu, untuk memasarkan produk dimudahkan dengan berbagai layanan ekspedisi serta promosi melalui media sosial. Selain itu tanaman anggrek cukup tahan dan tidak terlalu berisiko. Anggrek hasil budi dayanya dijual mulai Rp10.000 hingga Rp15 juta per tanaman. Ia menyediakan anggrek dari berbagai ukuran dari ukuran bibit hingga ukuran besar.

Selain itu, berbagai jenis anggrek juga ia sediakan misalnya Dendrobium, Phalaenopsis, Vanda, Cattleya, dan lain-lain. Sementara itu jenis anggrek yang paling diminati konsumen saat ini adalah Dendrobium dan Phalaenopsis atau Anggrek Bulan.

Tanaman anggrek ramai dicari saat ada pameran anggrek yang diadakan setiap enam bulan sekali di seluruh Indonesia. “Rata-rata omzet setiap bulan antara Rp10 juta hingga Rp20 juta,” ujar Yanuar. Yanuar menjelaskan merintis usaha anggrek tidak sulit. Namun ketika budi daya bertujuan untuk jual beli perlu untuk membangun green house.

Dilansir dari antaranews.com, pada Minggu (30/7/2023), Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) University Profesor Dewi Sukma mengungkapkan dari hasil penelitian potensi pengembangan bisnis tanaman anggrek di Indonesia memerlukan konsentrasi bioteknologi dalam pemuliaan sehingga menghasilkan kualitas dan jumlah yang memenuhi kebutuhan pasar. Anggrek merupakan salah satu famili tanaman hias terbesar di dunia tumbuhan yang memiliki karakter yang sangat bervariasi dan bernilai ekonomi tinggi.

Diperkirakan jumlah spesies dalam famili Orchidaceae mencapai sekitar 30.000 spesies, lebih dari 29.000 spesies sudah didaftarkan di Royal Society Horticulture (RHS) Sekitar 5.000 spesies anggrek. Ribuan spesies itu diperkirakan juga tersebar di wilayah Indonesia.

Nilai bisnis anggrek dunia pada tahun 2020 sekitar 5 juta USD dan diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 7 juta USD pada tahun 2027 dengan peningkatan CAGR 2021-2027, sebesar 4.67 persen.

Meskipun Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah anggrek yang tinggi, ternyata impor anggrek Indonesia hingga tahun 2019 cenderung meningkat, terutama impor dalam bentuk tanaman, mencapai 2 juta USD pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan peluang pasar anggrek dalam negeri cukup tinggi dan belum dapat dipenuhi dari produsen dalam negeri.

Dengan demikian, peningkatan produksi bibit anggrek dalam negeri dengan jenis yang memenuhi selera pasar masih perlu ditingkatkan. Sebagian besar anggrek untuk pasar di Indonesia diimpor dari Thailand sebesar 61.66 persen dan Taiwan 35.28 persen.

Berkaca pada Thailand, kata dia, yang merupakan produsen dan eksportir utama untuk Dendrobium dan Vanda, sedangkan Taiwan produsen dan eksportir utama untuk Phalaenopsis. Oleh karena itu, pengembangan ketiga genus tersebut perlu didorong untuk substitusi impor.

Penyilang dari Indonesia sudah banyak yang mendaftarkan silangannya di RHS, namun keterbatasan jumlah pemulia untuk pengembangan varietas baru. Hal ini menjadi kendala untuk menempatkan anggrek-anggrek yang dihasilkan dalam memenuhi kebutuhan pasar.

Ditambah lagi ketergantungan pada sarana pendukung produksi yang masih harus diimpor, serta perlu investasi besar dalam usaha agribisnis anggrek. Sementara itu dikutip dari laman indonesia.go.id, serapan pasar anggrek dalam negeri, yang terbesar adalah Provinsi DKI Jakarta. Ibu Kota negara ini diestimasi menyerap hampir 70% dari total produksi nasional dalam bentuk bunga hingga potong.

Selebihnya ialah kota-kota besar seperti Bali, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Medan. Bicara kebutuhan dalam negeri saja, hingga kini belum terpenuhi.

Dalam Outlook Anggrek 2015, selama periode 2000-2014 ekspor anggrek sebagian besar dalam bentuk tanaman. Rata-rata kontribusi ekspor dalam bentuk tanaman mencapai sebesar 70,94 persen, sementara sisanya ialah berbentuk bibit sebesar 29,06 persen.

Sayangnya, nilai komoditas anggrek di dunia internasional cenderung berfluktuasi. Semetara itu, pada 2007 ekspor anggrek yang dominan ditujukan ke negara Jepang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya