SOLOPOS.COM - Ilustrasi kejahatan siber. (Istimewa)

Solopos.com, JAKARTA – Raksasa bidang keamanan siber global, Fortinet, menemukan bahwa tingginya risiko keamanan siber menjadi peluang besar bagi tenaga kerja.

Hal tersebut disampaikan dalam rilis Laporan Kesenjangan Keterampilan Keamanan Siber Global 2023 dari Fortinet. Risiko keamanan siber seperti penerobosan terjadi akibat minimnya keterampilan keamanan siber. Menurut Fortinet, ada gap antara posisi-posisi penting IT dengan sertifikasi di bidang teknologi terutama keamanan siber dengan tenaga kerja saat ini.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Keamanan siber saat ini juga tetap menjadi prioritas dewan direksi dan menurut rilis Fortinet, ada permintaan dari pelaksana eksekutif untuk menambah jumlah staf keamanan IT. Organisasi juga mengakui ada keuntungan merekrut dan mempertahankan staf dengan bakat yang beragam untuk menfatasi kekurangan keterampilan, tetapi ada tantangan dalam hal itu.

Fortinet juga melaporkan antara 2021-2022 peningkatan jumlah organisasi yang mengalami penerobosan lebih dari lima kali meningkat sebesar 48%, jumlah yang lebih rendah dibandingkan angka global yaitu 53% organisasi. Menurut Fortinet, minimnya staf tim keamanan siber memicu hal ini terjadi. Para staf tersebut terbebani dan tegang saat mencoba memantau ribuan peringatan ancaman setiap harinya.

Mereka juga kelelahan mencoba mengelola solusi yang berbeda untuk melindungi perangkat dan data organisasi mereka dengan benar. Akibat dari tidak terisinya jabatan di bidang IT tersebut, laporan juga menyebutkan bahwa 82% organisasi di Indonesia mengindikasikan jika mereka menghadapi risiko siber tambahan.

Peningkatan penerobosan sudah terbukti terjadi, dengan 94% organisasi lokal mengalami satu atau lebih gangguan keamanan siber dalam setahun terakhir, naik dari sebelumnya 72%. Tentunya peningkatan penerobosan menyebabkan dampak finansial yang serius, dengan lebih dari 66% organisasi lokal mengalami penerobosan selama setahun terakhir sudah menghabiskan biaya lebih dari US$1 juta guna memulihkannya.

Saat ini, 87% dewan direksi di perusahaan Indonesia mendorong kebijakan mempekerjalan lebih banyak staf keamanan IT, dengan penekanan pada kebutuhan ahli keamanan siber. Beberapa jabatan yang paling sulit diisi untuk bidang keamanan siber antara lain operasi keamanan (56%) selanjutnya keamanan cloud (48%).

Pelatihan dan sertifikasi diperlukan bagi organisasi perusahaan untuk mengatasi kesenjangan keterampilan. Sertifikasi juga menjadi standar penilaian kemampuan pencari kerja yang dapat diandalkan oleh pemimpin bisnis lokal.

Saat ini sebanyak 96% pemimpin bisnis lokal memilih untuk mempekerjakan individu dengan sertifikasi yang berfokus pada teknologi. Sebanyak 88% responden Indonesia juga bersedia membayar karyawannya untuk mengikuti sertifikasi keamanan siber.

Country Director Fortinet di Indonesia, Edwin Lim, mengatakan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sudah memperbarui Konsep Strategi Keamanan Siber Nasional sebagai komponen penting keamanan nasional dalam merespon kemajuan teknologi. “Fortinet berkomitmen untuk bekerja sama secara erat dengan BSSN dan lembaga pemerintah lainnya untuk meningkatkan ketangguhan keamanan siber Indonesia,” papar Edwin menurut rilis.

EVP Produk dan CMO di Fortinet, John Maddison, mengatakan kurangnya ahli keamanan siber menjadi salah satu tantangan utama yang menempatkan organisasi dalam risiko. “Dengan perkembangan saat ini, organisasi harus memilih produk yang memperkenalkan otomatisasi guna mengurangi beban tim yang berkerja keras, sembari terus fokus pada pelatihan keamanan siber dan peningkatan keterampilan,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya