SOLOPOS.COM - Para buruh perempuan bekerja di Pabrik Rokok Patriot, Wonorejo, Gondangrejo, Karanganyar (31/11/2023) (Solopos.com/Ayu Prawitasari)

Solopos.com, SOLO—Empat abad mundur ke belakang, puntung rokok Rara Mendut menjadi saksi bagaimana perjuangan seorang perempuan Jawa membayar kebebasannya. Pajak boleh naik tak terkendali: 3 real, 10 real, hingga menjadi 20 real. Namun, dengan keretek  olahannya, Rara Mendut berhasil membayar beban pajak yang tak masuk akal itu dengan bermartabat. Tembakau menjadikan dirinya perempuan mandiri dan bebas, bukan sebagai sebagai tawanan penguasa.

Ratusan tahun berlalu, namun cerita tentang ketangguhan gadis manis dari Pati, Jawa Tengah, itu tetap melekat di memori kolektif warga Indonesia. Saat ini, pajak kerajaan memang sudah tidak ada, namun bukan berarti pajak itu menghilang. Dia sekarang berganti nama menjadi pita cukai yang lebih tertata dan masuk akal.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Pun dengan Rara Mendut. Meski dia fiksi belaka, lahir dari imajinasi Y.B Mangunwijaya, namun sejatinya perempuan itu benar-benar hidup dalam semangat dan keyakinan para buruh perempuan yang duduk dengan tabah di pabrik-pabrik sigaret keretek  tangan (SKT). Seperti halnya Rara Mendut, di tangan para perempuan itu, perekonomian jutaan keluarga berjalan, sementara di atasnya perekonomian Indonesia berputar.

Aroma tembakau dan cengkih Pabrik Rokok Patriot menyapa hidung dengan halus sejak dari pintu masuk, Kamis (30/11/2023). Bau khas itu datang dari ruang produksi rokok keretek  di mana puluhan perempuan yang sebagian besar sudah setengah baya duduk dengan dengan alat pelinting manual dari kayu, lem, plastik, gunting kecil, dan masih banyak lagi di meja kayu di depan mereka masing-masing.

Saat itu pukul 09.00 WIB. Sinar matahari tumpah di dinding ruang produksi, menjadikan ruangan yang semua pintunya terbuka itu, menjadi sangat terang tanpa lampu.

Semenjak pukul 07.00 WIB, tangan para perempuan tersebut tak pernah berhenti bergerak: menata tembakau, memasukkan kertas di mesin pelinting manual, lalu memasukkannya ke ember-ember kecil di dekat mereka. Sebagian yang lain menggunting ujung batang rokok dan menata mereka menjadi 12 batang yang yang disusun rapi.

Para perempuan yang usianya lebih muda duduk di sudut ruangan, memasukkan paket 12 batang rokok dalam pembungkus dan menempeli masing-masing bungkus tersebut dengan pita cukai. Tarif satu lembar pita cukai untuk rokok SKT kelas III itu adalah Rp118.

Setelah pita cukai tertempel, bungkus-bungkus tersebut dikemas dalam plastik bening yang ditempatkan di sudut ruang lain. Rokok-rokok yang sudah dibungkus plastik siap diedarkan dengan harga dasar Rp7.275.  Begitu sampai di toko atau retail, menurut pemilik pabrik yang berlokasi di Kelurahan Wonorejo, Gondangrejo, Karanganyar, Heri Purwanto, harganya menjadi sekitar Rp8.000.

Ruang produksi PR Patriot selalu ramai. Para buruh saling bercakap-cakap dan bercanda untuk membunuh waktu dan kebosanan yang mereka rasakan. Seperti yang dilakukan salah satu buruh, Saminem namanya.

Peempuan berusia 60 tahun tersebut tertawa – menampakkan beberapa giginya yang tanggal – saat menanggapi celotehan teman kerja di sebelahnya. Meski pandangannya tak mengarah pada mesin kayu pelintingan rokok di depannya, tangannya tetap bergerak dengan teratur. Ia sudah hafal setiap langkah dan setiap inci alat kerjanya.

Saminem mengaku selama lebih dari separuh abad hidupnya, ia tak pernah mengenal sekolah. Yang ibu tiga anak dan empat cucu itu tahu hanyalah perempuan harus bekerja, bahkan semenjak dia masih kecil.

Saminem memang tak bisa membaca dan menulis, namun dia mampu melinting tembakau menjadi batang rokok dengan sangat cepat dan rapi. Keterampilan itulah yang membuatnya bertahan hidup sampai saat ini.

“Saya ini sudah pernah di mana-mana lo. Djitoe, Kerbau, Menara, mana lagi coba di Solo ini. Semua sudah pernah saya coba. Tuanya saja baru kerja di di sini soalnya dekat rumah. Rumah saya kan Plesungan, jadi ke sini cukup naik sepeda [kayuh],” kata dia.

Heri Purwanto mengatakan Saminem adalah potret perempuan dengan pendidikan rendah, bahkan tanpa pendidikan, yang berupaya menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya dengan tenaga sendiri. Kebanyakan para perempuan yang bekerja di pabriknya hanyalah tamatan SD dan sebagian yang lain tidak bersekolah.

Pabrik rokok selalu bisa menjadi andalan para perempuan seperti Saminem hidup dengan layak tanpa menggantungkan diri dari bantuan pemerintah. “Saya kira ini tidak hanya terjadi di pabrik saya, namun di semua pabrik rokok pasti yang di bagian melinting didominasi perempuan. Industri SKT memang industri yang selalu dapat diandalkan para perempuan dengan pendidikan rendah,” kata dia.

Sistem borongan yang diterapkan pabrik memungkinkan para perempuan mengatur ritme kerja mereka. Untuk 1.000 batang rokok, mereka mendapatkan upah sebesar Rp18.200. Biasanya masing-masing buruh bisa menghasilkan 5.000 batang dalam satu hari.

Heri
Heri Purwanto.

 

Heri yang dulunya karyawan pabrik rokok Roro Mendut ini mengenang bagaimana dia memulai usahanya. Semuanya dimulai pada 1991 lalu, begitu katanya.

Patriot di bawahnya kini memproduksi tiga jenis rokok, yaitu Batara, AS Jaya, dan yang terbaru adalah Djarta dengan isi 16 batang. “Jadi sejak harga sebungkus rokok masih Rp250 sampai menjadi Rp7.275, saya sudah ada di industri ini,” tambah dia.

Heri berharap sigaret keretek  tangan yang merefleksikan produk budaya masyarakat Indonesia dapat terus bertahan di tengah tantangan cukai yang terus naik; sigaret keretek  mesin (SKM); rokok tanpa cukai alias ilegal; hingga segala pembatasan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan yang mengatur zat adiktif, termasuk tembakau.

Cukai Hasil Tembakau

Mengutip laman kemenperin.go.id yang diakses, Sabtu (26/11/2023), Kementerian Perindustrian mencatat industri hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu sektor manufaktur nasional strategis yang memiliki keterkaitan luas dari hulu hingga hilir. “IHT adalah bagian dari sejarah bangsa dan budaya Indonesia, khususnya rokok keretek . Itu karena rokok keretek  merupakan produk berbasis tembakau dan cengkih yang menjadi warisan inovasi nenek moyang dan mengakar secara turun-temurun,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Airlangga, industri rokok di dalam negeri telah meningkatkan nilai tambah hasil perkebunan, khususnya tembakau dan cengkih. Rokok menjadi penyumbang terbesar pendapatan cukai negara di mana sepanjang 2018, negara berhasil mendapatkan Rp 153 triliun, lebih tinggi  dibandingkan perolehan 2017 yang sebesar Rp147 triliun. Nilai ini berkontribusi terhadap 95,8% cukai nasional.

Sementara itu, selama 2022, Kemenkeu mencatat realisasi penerimaan CHT menjadi sebesar Rp198,02 triliun, meningkat 4,9% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp188,81 triliun.



Pun, lanjut Airlangga, industri rokok tergolong sektor padat karya yang tangguh karena mampu menyerap banyak tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan terbatas. Saat ini, ada 5,98 juta  tenaga kerja yang diserap di industri rokok. Sebanyak 4,28 juta  di antaranya adalah  pekerja  di sektor  manufaktur dan distribusi sedangkan sisanya, 1,7 juta orang, bekerja di sektor perkebunan.

Mengutip laman amti.id, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo, menambahkan sebesar 86% dari seluruh pekerja di sektor pengolahan tembakau adalah kaum perempuan. Asumsinya dengan membandingkan data Kemenperin, ada 3 juta lebih perempuan yang menggantungkan hidup mereka di sektor ini.

Menurut Budidoyo, para perempuan pelinting rokok menjadi penyangga industri hasil tembakau yang telah berkontribusi terhadap triliunan pajak negara. IHT menjadi sektor usaha yang memberikan kesempatan dan ruang bagi para perempuan dengan latar belakang pendidikan minim untuk mandiri dan menghidupi keluarga mereka.

Apabila ada tekanan terhadap IHT, lanjut dia, kondisi tersebut secara otomatis akan mengancam keberlangsungan pabrikan dan para pekerja. Jutaan buruh IHT yang didominasi para perempuan bakal kesulitan menemukan sektor industri lain yang dapat menyerap mereka dengan keterbatasan pendidikan maupun keterampilan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya