SOLOPOS.COM - Pemilik Rahma Jaya, Surkalis menunjukkan produk jamu instan miliknya dalam acara Expo Hari UMKM Nasional 2023 di Pamedan Pura Mangkunegaran Solo, pada Kamis (10/8/2023). (Solopos.com/Galih Aprilia Wibowo)

Solopos.com, SOLO — Peluang usaha jamu tradisional masih menggiurkan. Peluang tersebut salah satunya ditangkap oleh Surkalis, pemilik Rahma Jaya, Matesih, Karanganyar, yang memproduksi serbuk jamu instan.

Jamu masih menjadi salah satu pilihan minuman tradisional sebagai alternatif pengobatan yang masih diyakini khasiatnya oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia.

Promosi Sistem E-Katalog Terbaru LKPP Meluncur, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Dilansir dari yankes.kemenkes.go.id, pada Senin (14/8/2023), Indonesia diketahui memiliki keragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Kemenkes menyebut dari 30.000 spesies tumbuhan di Indonesia sebanyak 6.000 tanaman merupakan jenis obat.

Selama ini perkembangan pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif tampak semakin pesat, sekitar 32% masyarakat memilih pengobatan dan obat tradisional ketika sakit. Perkembangan ini telah mendorong berdirinya usaha di bidang obat tradisional, mulai dari budidaya tanaman obat, industri obat, dan distribusi.

Berdasarkan data tersebut peluang usaha jamu tradisional masih menggiurkan. Peluang tersebut salah satunya ditangkap oleh Pemilik Rahma Jaya, Surkalis, yang memproduksi serbuk jamu instan.

Warga Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar ini merintis usahanya sejak 2015. Dalam sehari, ia mampu memproduksi hingga 200 kemasan. Rata-rata dalam sebulan sebanyak 300 kemasan berhasil terjual. Dalam proses produksi saat ini ia dibantu oleh lima karyawan.

Ia menyasar pasar oleh-oleh di wilayah Soloraya. Termasuk di wilayah asalnya yang banyak berdiri tempat wisata. Cukup banyak pelancong yang meminati produk jamu instan darinya.

Awalnya, Surkalis bekerja merantau di luar kota. Namun, ia harus pulang bersama istrinya karena mertuanya sakit. Mau tidak mau, ia harus melepas pekerjaannya di bidang kontraktor proyek dan memutar otak mencari penghasilan lainnya.

Awal pulang ke Matesih, Karanganyar, ia sempat kebingungan mencari pekerjaan. Apalagi, ia juga tidak mempunyai lahan pertanian untuk diolah.

Kemudian, istrinya mendapat penawaran pelatihan pengolahan hasil pertanian di Balai Latihan Kerja (BLK) Karanganyar. “Jahe ini kan harganya murah, dulu sekitar Rp6.000 hingga Rp7.000, setelah kami olah bisa bernilai empat kali lipat,” terang Surkalis saat ditemui Solopos.com di expo Hari UMKM Nasional 2023 di Pura Mangkunegaran Solo, Kamis (10/8/2023).

Delapan tahun lalu ia memasarkan produknya secara door to door kepada kepada pekerja dan guru. Awalnya banyak yang tidak tertarik, namun ia menyiapkan free tester untuk mencoba cita rasa produknya. Setelah menjajal seduhan jamu miliknya, banyak yang kemudian tertarik untuk membeli.

Varian produknya juga beragam misalnya, jahe, beras kencur, temulawak, kunyit, binahong, dan lain-lain. Satu kemasan produknya dibanderol dengan harga Rp20.000 hingga Rp30.000.

Ia mengemas jamu instan tersebut dalam bentuk toples. Bahan baku biasanya ia peroleh dari warga sekitar. Setelah dibersihkan, bahan tersebut kemudian digiling untuk diambil perasan airnya. Lalu perasan air tersebut ditambahkan 12 ragam rempah-rempah seperti cengkih dan serai, kayu manis, dan lainnya. “Kami ambil sarinya itu dengan cara direbus kemudian dimasak hingga kering,” ujar Surkalis.

Karanganyar memang menjadi wilayah potensial untuk tanaman obat tradisional sebagai bahan baku jamu. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Sekar Arum Jumantono Karanganyar, Dwi Hastuti, saat dihubungi Solopos.com beberapa waktu lalu. Pihaknya juga menjadi pemasok jahe ke Pabrik Air Mancur PT Combiphar di Palur, Karanganyar.

Masa tanam jahe berkisar 9-12 bulan. Pada Januari 2023, ia berhasil memasok 200 kilogram (kg) simplisia jahe. Simplisia merupakan hasil pengeringan dari tanaman obat yang belum diolah lebih lanjut atau baru dirajang yang kemudian dijemur.

Pasokan tersebut sesuai standar sortir pabrik. Namun, ia mengaku kelompoknya belum memenuhi target produksi. Budi daya tanaman obat tradisional di wilayah Dwi masih diminati. Masih banyak warga yang menanam tanaman obat tradisional, misalnya kencur, sereh, lengkuas, dan lain-lain.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya