SOLOPOS.COM - Gambar kompleks perumahan yang diklaim penipu sebagai kompleks rumah murah yang dia jual. (Istimewa).

Solopos.com, SOLO — Warga Colomadu, Karanganyar, Wahid, masih ingat betul emosinya naik turun ketika tahu menjadi korban developer nakal.

Rumah yang dibelinya di kawasan Kismoyo, Boyolali, pada 2019 silam, rusak parah meski baru dua tahun dihuni. Usut punya usut, rumahnya dibangun di bekas kubangan yang cukup dalam kemudian diurug tanah oleh si developer. 

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Proses pengurukan yang kurang sempurna serta fondasi rumah yang hanya 50 meter membuat bangunan rumahnya jadi miring hingga temboknya retak cukup parah.

Wahid akhirnya memilih tak menempati rumah tersebut daripada ia dan keluarganya jadi korban rumah ambruk. Ia memang tak bisa berbuat banyak.

Sempat protes ke developer tapi tak digubris karena akad jual beli sudah selesai. Sementara, saat protes ke bank pun tak mendapatkan solusi. “Developer saya lepas tangan karena sudah akad dan disebut rumah tersebut sudah merupakan tanggung jawab pemilik. Kalau ke bank, saya disarankan untuk mengambil pinjaman tambahan untuk memperbaiki rumah,” ceritanya, Rabu (18/1/2023).

Ia masih ingat betul, kala itu tergiur beli rumah tersebut karena tahu lahannya cukup luas yakni 115 meter per segi, dan luas rumah 45 meter per segi.

Rumah ready stock itu dihargai Rp250 juta. Wahid pun sepakat dengan memberikan uang muka Rp100 juta, sisanya ia mengutang di BTN menggunakan program KPR.

Saat ditemui Solopos.com, Rabu, ia mengatakan awalnya tidak merasa khawatir atau menaruh curiga atas rumah yang dibelinya. Ia tertarik membeli rumah tersebut karena lingkungan yang asri.

“Saya beli waktu itu dengan harga total Rp250 juta ke salah satu pengembang yang membangun tiga rumah, tapi sudah bangun beberapa perumahan di daerah itu tahun 2019. Rumahnya itu luas tanahnya 115 meter persegi dengan luas bangunan 45 meter persegi. Tetangganya enak, awalnya juga betah karena luas tanahnya pas, saya beli dengan kredit ke BTN dengan harga Rp250 juta,” ujarnya.

Wahid menjelaskan, keraguan atas rumah yang dibelinya mulai muncul  saat selesai akad dan membayarkan uang muka sebesar Rp100 juta. Rumahnya ternyata didaftarkan sebagai sekretariat kantor perumahan.

“Waktu itu, rumah saya didaftarkan developer sebagai kantornya, jadi rumah saya didatangi Bank Mandiri karena terdaftar sebagai alamat kantor. Lalu saya datangi pihak developernya untuk meluruskan masalah ini,” kata dia.

Satu tahun ditempati, masalah lain mulai muncul. Ia melihat ada retakan di tembok dengan ukuran sehelai rambut, bahkan muncul di berbagai titik. Saat itu, ia tidak khawatir karena merasa wajar bisa jadi ada semen yang retak karena cuaca.

Tetapi, semua berubah sepulangnya dari Jogja.

“Saya masih sering pulang ke Jogja waktu itu, dan tiba-tiba tembok pagar saya ada retakan, begitu masuk, retakan di kamar makin besar bahkan celahnya dimasuki cahaya saat pagi. Akhirnya baru terlihat bangunannya sedikit miring,” tambahnya.

Ia kemudian bertanya kepada tetangga dan akhirnya mengetahui penyebabnya. Tanah rumahnya bergerak karena dulunya memang merupakan kubangan yang cukup dalam, sedangkan pondasi yang dibangun hanya sedalam 50 sentimeter.

“Saya akhirnya tahu kalau rumah saya ini dulu kubangan yang cukup dalam, sehingga tanahnya lembab dari lama. Sedangkan pondasi saya hanya setengah meter, kalau rumah-rumah sekitar bisa sampai 1,5 meter dalam pondasinya,” ujarnya dengan getir.

Setelah protes ke developer dan bank tak mendapatkan solusi terbaik, Wahid akhirnya memutuskan membiarkan rumah tersebut. Ia tidak melanjutkan cicilan rumahnya karena secara kalkulasi sangat merugikan. Solusi tersebut diambilnya agar tidak mengalami kerugian yang lebih besar.

“Saya kredit Rp2 juta per bulan dengan jangka waktu 25 tahun, jadi totalnya sekitar RpRp600 juta plus uang muka Rp100 juta, sedangkan rumahnya enggak bisa saya tempati. Akhirnya enggak saya teruskan cicilannya dengan risikonya memang akhirnya saya di blacklist oleh bank dan enggak bisa mengajukan kredit di mana-mana,” kata dia.

Kejadian itu membuatnya trauma sekaligus merasa habis-habisan. Wahid bahkan enggan melaporkan kasus tersebut ke kepolisian karena takut semakin banyak uang yang dikeluarkan.

Saat ini, Wahid tinggal di perumahan yang dibelinya secara tunai. Meskipun ukurannya lebih kecil, ia menyebut rumahnya lebih nyaman dan lebih aman.

“Sekarang rumah saya tipe 60 dengan harga beli Rp340 juta, tapi lebih nyaman karena developer-nya lebih jelas dan rumahnya juga lebih aman,” kata dia.

Konsumen Dijanjikan Rumah Fiktif

Cerita berbeda dialami warga Karanganyar, Ibnu Khaizar. Ia harus kehilangan Rp150 juta karena rumah yang dijanjikan developer ternyata fiktif. Ibnu bercerita, awalnya mendapatkan tawaran membangun rumah dengan sistem syariah dari salah satu iklan di Facebook.

“Saya dapet tawaran ketika itu saya masih di Jakarta dan mau beli rumah di Boyolali supaya dekat dengan keluarga itu akhir tahun 2022. Akhirnya saya cari di media sosial ada yang menawarkan perumahan di daerah Mojosongo, Boyolali dan saya diberi foto ada beberapa rumah yang sudah jadi. Sistem pembayarannya harus tunai waktu itu sebesar Rp150 juta,” kata dia.

Ibnu sempat survey langsung ke lokasi perumahan yang disebutkan si pengembang. Setelah merasa cocok dan yakin, ia kemudian menjual beberapa asetnya untuk bisa membeli rumah tersebut.



Ibnu pun membayar uang cash Rp150 juta kepada si pengembang.

“Saya sempat pulang ke Karanganyar dan menyerahkan uang itu secara tunai ke developer, saat itu saya menjual satu mobil dan satu motor biar lunas,” kata dia.

Selang beberapa waktu, ia meminta saudaranya mengecek perumahan yang harusnya sudah dibangun oleh pengembang.  Namun, kecurigannya mulai muncul ketika saudaranya melaporkan ada yang tak beres dari proses jual belinya.

“Adik ipar saya kemudian mengecek, ternyata rumah yang dibangun itu atas nama developer lain,” tambahnya.

Menyadari hal tersebut, Ibnu kemudian memutuskan segera pulang ke Karanganyar dan mengecek langsung.  Setelah melakukan penggalian informasi lebih dalam, rumah yang difoto dan sempat dia kunjungi beberapa waktu lalu bukanlah milik pengembangnya. Namun, proyek perumahan milik developer lain.

Ibnu kemudian mencoba menghubungi dan mencarinya hingga rumah tempat tinggal pihak developer. Namun nahas, rumah developer sudah kosong sejak Juli 2023 dengan membawa uang miliknya.

Berbagai upaya dia lakukan agar uangnya kembali. Salah satunya mengadukan developer tersebut kepada pihak asosiasi yakni REI. Ia tak berani lapor ke polisi karena khawatir disalahkan.

“Saya sudah mengadukan ke REI tapi memang enggak bisa dicari soalnya memang perorangan developer-nya bukan perusahaan. Ini saya masih terus mencari developer itu lewat jaringan teman-teman saya,” katanya pasrah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya