SOLOPOS.COM - Proses membatik dengan canting dan cairan malam. (Solopos/Nicolous Irawan)

Solopos.com, SOLO — Sebagai kain wastra di Indonesia, batik menjadi warisan budaya yang harus dijaga eksistensinya. Minimnya minat anak muda jadi kendala utama regenerasi para perajin batik tulis.

Hal ini diungkapkan oleh Dosen Bidang Keahlian Ilmu Tekstil Pendidikan Bahasa dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Endang Sri Handayani, saat dihubungi Solopos.com pada Rabu (6/4/2023). Menurut Endang, brand image support di Kota Solo sebagai Kota Batik adalah sentra industri batik di Kampung Wisata Batik Kauman dan Kampung Batik Laweyan hingga saat ini.

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Endang menilai membangun brand image sangat bergantung kepada kebijakan dinas terkait untuk memberikan support sistem terhadap eksistensi keduanya. Menurutnya, kain motif batik sebenarnya saat ini sudah diproduksi secara massal di lapisan industri tekstil di Soloraya untuk memenuhi kebutuhan tekstil di Indonesia.

“Masalah eksistensi batik, justru [saya] sedikit khawatir di sektor batik tulis, di beberapa sentra batik tulis dan cap di Soloraya. Masalah paling nyata adalah regenerasi perajin yang sangat minim. Rata-rata pembatik di Soloraya, usianya di atas 30 tahun,” papar Endang.

Endang menilai batik sudah menjadi busana wajib untuk berbagai acara resmi di Indonesia. Seringkali masyarakat menggunakan dresscode batik pada hari tertentu, bahkan seragam sekolah.

Ketua Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, Gunawan Setiawan, menyebut Kampung Wisata Batik Kauman memiliki potensi besar dan menarik serta sudah menjadi tradisi hingga sekarang yaitu batik. “Potensi yang menarik dan sudah [menjadi] tradisi sampai sekarang adalah batik,” ujar Gunawan saat dihubungi Solopos.com pada Selasa (4/4/2023).

Gunawan menguraikan setidaknya ada 20 perajin batik yang masih aktif berproduksi. Namun, untuk pemilik toko yang batik ada sekitar 40 orang, jumlah ini di luar penjual batik yang hanya memiliki toko online. Gunawan berkisah zaman dahulu hampir setiap rumah di kawasan Kauman mempunyai usaha batik, dari tenaga pola, membatik, mewarna, menjual, dan bahkan service batik. “Kalau ditotal bisa ratusan usaha,” tambah Gunawan.

Selain itu, Kampoeng Batik Laweyan menjadi salah satu pusatnya usaha batik di Kota Bengawan. Sempat vakum karena pandemi Covid-19, saat ini mereka berupaya untuk melek digitalisasi industri dan menuju pusat batik ramah lingkungan.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Forum Pengembang Kampung Batik Laweyan, Solo, Alpha Fabela Priyatmono, saat ditemui Solopos.com di rumahnya beberapa waktu lalu. Salah satu dosen Univesitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo ini menguraikan bahwa Kampoeng Batik Laweyan mempunyai asa menjadi pusatnya batik ramah lingkungan di Indonesia.

Alpha menguraikan pandemi membuat semua pengusaha batik terpukul hingga harus gulung tikar. Ia yang tergabung dalam Asosisasi Industri dan Perajin Batik Indonesia, menguraikan hampir 80% usaha batik mengalami penurunan baik dari tenaga kerja, income, dan kapasitas produksi.

Di Laweyan sendiri dulunya ada ratusan perajin batik, dan saat ini tersisa kurang lebih 30-40-an perajin batik yang masih bertahan. Perajin batik banyak yang terpaksa banting setir karena pandemi.

Namun beberapa pengusaha batik tetap bangkit dengan cara merambah ke pemasaran digital atau online. Aplha saat ini juga tengah mendorong anak muda untuk melirik industri batik, misalnya dengan pemberdayaan kaum difabel yang memiliki showroom batik mereka sendiri yaitu Batik Toeli di Laweyan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya