SOLOPOS.COM - Es Potong Djadoel Mandiri varian rasa stroberi yang dicelup coklat, di jual di dekat pintu utama Pasar Gede Solo. (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati).

Solopos.com, SOLO — Marjuki, 51, harus segera bangun dini hari pukul 03.00 WIB untuk lekas membuat es potong. Bahan-bahan yang sudah tersedia seperti hunkue, gula, kelapa, sampai buah yang diolah secara manual.

Semua bahan yang digunakan untuk membuat es potong merupakan bahan asli. Termasuk untuk menambahkan rasa manis, dia menggunakan gula murni tanpa campuran pemanis buatan. Lalu untuk menambah vairan rasa dia menggunakan buah asli.

Promosi Layanan Internet Starlink Elon Musk Kantongi Izin Beroperasi, Ini Kata Telkom

“Ini gula murni, boleh dites. Gula dan buah saya murni, misalkan rasa durian, murni durian. Ini tadinya alpukat tidak ada yang matang, jadi mending tidak bikin kalau tidak dapat,” kata dia ketika berbincang dengan Solopos.com, Jumat (13/10/2023).

Proses pembuatan secara manual itu membutuhkan waktu cukup lama. Sampai pukul 07.30 WIB, ia baru selesai semua tahap pembuatan es potong. Dia mengatakan rata-rata per gerobak biasa membawa 40 batang.

“Setelah itu bersih-bersih alat, istirahat sebentar, lalu siap-siap berangkat,” kata dia.

Baru kemudian pukul 09.30 WIB berangkat ke Pasar Gede untuk menyajikan es otong buatnya itu dengan gerobak kecil miliknya bertulis Es Potong Djadoel Mandiri.

Berlokasi di dekat gerbang utama pasar, dia bisa berjualan sampai sore, bahkan ketika es potong buatannya belum laku habis, ia harus jualan sampai malam.

“Kalau lagi sepi sampai jam 20.00 WIB, ya namanya orang usaha enggak tau,” kata dia. Dia selalu berjualan di Pasar Gede setiap hari, kecuali hari Sabtu digantikan oleh saudaranya.

Pria asal Kemusu, Boyolali, ini sudah lama berjualan, yakni sejak delapan tahun silam. Awalnya dia hanya ikut orang di Jakarta untuk jual es potong.

Namun lama kelamaan, terlintas di pikirannya untuk membuka usaha sendiri. Maka ketika di Jakarta itu, dia sedikit demi sedikit belajar cara membuat es potong jadul sendiri.

Namun, ternyata tidak semudah itu. Bahkan ketika pertama dirinya membuat es potong dengan resepnya sendiri, rasanya sama sekali tidak enak. “Akhirnya saya buang, coba lagi,” kata dia.

Dia coba terus sampai berhasil. Butuh waktu setidaknya setengah tahun untuk menemukan perpaduan bahan yang pas. Menurutnya yang membuat sulit adalah komposisi antara hunkue dan kelapa.

“Kalau itu tidak pas ya tidak jadi, misalkan kebanyakan hunkwe itu jadinya tidak bisa keras, dan rasanya malah kayak tepung,” kata dia.

Setelah berhasil menemukan resep yang pas. Sekitar 2013 sampai 2024, dia berpikir untuk kembali ke kampung halaman dan membuka usaha di Solo.

Namun lagi-lagi tidak mudah, selama tiga bulan pendapatannya dari es potong hanya cukup menutup untuk makan dan membayar kos. “Tapi tiga bulan ke depan alhamdulillah, sudah mulai sedikit demi sedikit untung,” kata dia.

Es Potong Djadoel
Marjuki [kiri] melayani pembeli Es Potong Djadoel Mandiri miliknya di Pasar Gede Solo, Jumat (13/10/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati).

Usaha Es Potong Mandiri

Setelah jalan lima tahun, Es Potong Mandiri, begitu nama usahanya, sudah memiliki delapan gerobak yang tersebar di sekitar Solo. Masing-masing gerobak dijalankan oleh saudara Marjuki yang memang ingin ikut berjualan. Saudaranya itu juga membantunya membuat es potong.

“Cuma resepnya tetap dari saya, enggak ada yang tahu resepnya, masih rahasia,” kata dia.

Tidak berlebihan Marjuki merahasiakan resepnya, sebab rasa es potong buatnya manis, dingin, dan gurih. Setiap varian juga terasa buahnya.

Setiap digigit tidak terlalu dingin di gigi, manisnya juga pas di lidah, dan yang paling penting tidak nyangkut di tenggorokan. Ini lantaran Marjuki tidak menggunakan bahan buatan.

Sebelum pandemi, es potong miliknya hanya dibanderol dengan harga Rp3.000 saja. Dalam sehari, dai bisa menjual setidaknya 30 batang es potong. Namun kini dia memutuskan menaikan harga menjadi Rp5.000.

Sebenarnya, dia bisa saja menjual dengan harga yang lebih murah jika beralih ke bahan-bahan buatan. Namun dia tetap teguh menghindari bahan yang membuat orang batuk. Terlebih produk yang dijual itu, juga banyak diminati anak-anak.

“Sekarang harga naik lantaran bahan baku yang digunakan juga sudah naik. Garam kasar satu kilo itu sudah Rp4.000, pengerasnya kan pakai gerem, ini kan bahannya asli semua dan manual, tidak pakai mesin,” kata dia.

Maka sekarang dia jual per potong seharga Rp5.000 dengan pilihan varian rasa yang beragam seperti coklat, kacang hijau, alpukat, ketan hitam, stroberi, dan lainnya. Ketersedian rasa juga tergantung ketersediaan bahan di pasar.

Pembeli juga bisa meminta untuk ditambah celupan coklat. Namun Marjuki tidak menyarankan es potong dicelup atau dibalut coklat. Sabab bahannya ada campuran minyak kelapa.



“Ini kan ada campuran minyak kelapa, bisa bikin batuk, saya kalau ada yang beli tidak langsung kasih. Tapi kalau diminta baru saya kasih. Ini juga saya baru aja menyediakan celupan coklat karena permintaan pelanggan,” kata dia.

Es potong sebenarnya sudah ada sejak 1970-an sampai 1980-an. Tidak pasti siapa yang kali pertama menjajakan, namun es potong yang manis itu menemani orang-orang sewaktu kecil. Sempat eksis sampai tahun 2000-an, sampai sekarang sudah jarang pedagang yang menjajakan.

Marjuki dengan usahanya Es Potong Djadoel Mandiri bisa dibilang satu-satunya yang jual es potong di Pasar Gede. “Di Solo ini yang pertama,” begitu pengakuannya.

Nostalgia Es Potong

Pekerja swasta di Solo, Eli, 26 mengaku masih sering cari es potong. Dia mengatakan sesekali ketika mampir di pasar gede, dirinya sengaja membeli untuk sekadar menyegarkan badan dan mengenang masa kecil.

“Waktu itu nggak sengaja ketemu sama bapak-bapak jual es potong [di Pasar Gede], karena udah lama banget jadi pengin ngerasain lagi. Bikin nostalgia dong, ngingetin ke masa-masa SD,” kata dia kepada Solopos.com, Jumat (13/10/2023).

Dia mengatakan memang lumayan susah cari es potong lantaran di Solo masih jarang. Dari segi rasa menurutnya ada perpaduan manis dan gurih. Manis bisa jadi berasal dari bahan gula dan buah, sedangkan gurih dari campuran kelapa.

“Rasanya ya lebih sederhana sih, varian rasanya ga sebanyak es krim modern yg ada di pasar. Tapi menurutku lebih ngangenin, gurih,” kata dia.

Warga asal Baki, Nia, 23, juga mengaku masih suka jajan es potong. Selain rasanya yang enak, menurutnya harganya juga sangat terjangkau.

“Menurutku enak sih, dan murah juga ya terjangkau. Bikin nostalgia jugaa justru malah kangen makan kaya gitu. Tapi agak susah cari yang ada coklatnya beberapa kali nemu enggak ada coklatnya,” tambahnya.

Es potong Jadoel
Marjuki [kiri] melayani pembeli Es Potong Djadoel Mandiri miliknya di Pasar Gede Solo, Jumat (13/10/2023). (Solopos.com/Dhima Wahyu Sejati).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya