SOLOPOS.COM - Kawasan pabrik Modern Rice Milling Plant Sragen yang menggunakan teknologi canggih dalam pengolahan berasnya. Foto diambil baru-baru ini. (Solopos.com/Kurniawan)

Solopos.com, SOLO — Beras adalah makanan pokok masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Tingkat konsumsi yang tinggi menjadikan beras sebagai simbol kemakmuran dan swasembada beras menjadi dasar legitimasi status kemakmuran itu.

Jejak tertua budidaya padi di Jawa bisa dilihat di prasasti Canggal yang ditemukan di kompleks candi Gunung Wukir di Desa Kadiluwih, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti berangka tahun 732 Masehi tersebut ditulis dengan aksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Prasasti ini menyebutkan, “Yawadwipa (Jawa) di bawah Raja Sanjaya telah diberkahi kekayaan beras dan emas.”

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Dalam Babad Tanah Jawi (1939), dikisahkan para raja Mataram Islam menyadari posisi beras sebagai penjaga stabilitas kekuasaan. Budi daya padi pada masa tersebut membawa kemakmuran, bahkan kerajaan bisa mengekspor beras ke luar negeri.

Beras juga menjadi komoditas utama pertanian selama kolonialisasi Belanda. Creutzberg (1987) dalam bukunya membeberkan data produksi padi pada 1837 yang mencapai 1,197 juta ton dan pada 1856 meningkat menjadi 1,8 juta ton. Namun, Creutzberg mencatat pertumbuhan produksi beras tidak meningkat selama 20 tahun seiring kebijakan tanam paksa oleh Belanda sehingga memicu kekurangan pangan.

Baca Juga: Drip Irrigation System, Solusi Pertanian Jagung di Gunung Tumpeng Jateng

Pascakemerdekaan, Indonesia masih harus berjuang memenuhi kebutuhan beras. Sri Widodo melalui ulasan berjudul Swasembada Beras: Prospek dan Masalahnya menganalisis kenaikan produksi sebesar 3,24% per tahun pada era 1950-1969 yang tak cukup mengimbangi pertumbuhan penduduk 2% per tahun. Akibatnya, Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno terus mengimpor beras. Pada 1960, Indonesia mengimpor 962.000 ton beras (14,2% dari total impor beras dunia).

Pada era Presiden Soeharto, tepatnya pada Pelita III (1979-1984), Indonesia mencapai swasembada beras dengan produksi padi mencapai 39,03 juta ton gabah (tumbuh 7,44%). Impor beras turun tajam menjadi hanya 3,5% dari impor beras dunia. Sayangnya, kekeringan yang secara periodik terjadi, perubahan kebijakan pangan yang menguntungkan pemodal besar, dan masalah lain membuat pertumbuhan produksi padi menurun.

Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014), ada upaya peningkatan produksi beras. Pada periode 2007-2008, laju peningkatan produksi tercatat 5,46% dan ini dianggap sebagai salah satu capaian terbaik sejak reformasi.

Pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah fokus pada pembangunan infrastruktur, termasuk infrastruktur pertanian seperti embung, waduk, dan irigasi. Pada awal periode tersebut produksi beras dalam negeri dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan. Ini terlihat dari volume impor beras pada 2016 yang mencapai 1,28 juta ton atau tertinggi setelah 2007. Volume impor beras memuncak pada 2018 yang mencapai 2,25 juta ton.

Baru pada 2022 Indonesia kembali meraih pengakuan sebagai negara yang berswasembada beras. International Rice Research Institute (IRRI), organisasi riset budi daya padi yang berpusat di Filipina, memberikan penghargaan terhadap sistem ketahanan pertanian pangan dan swasembada beras melalui penerapan inovasi teknologi pada 2019–2021.
Rasio produksi dalam negeri mencapai 90% dari total permintaan. Pada 2019, produksi beras Indonesia mencapai 31,3 juta ton dan berlanjut pada 2020 dan 2021. Pada 2022, Indonesia masih mampu memenuhi kebutuhan beras dengan produksi dalam negeri.

Stok Perum Bulog yang tercatat dalam laporan Perkembangan Harga, Inflasi, dan Stok Indikatif Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan pada Agustus 2022 mencapai 1,05 juta ton dengan ketahanan 13,4 bulan. Sedangkan pada September 2022 sebesar 861.966 ton dengan ketahanan 10,8 bulan. Per 3 Oktober 2022, stok masih 798.013 ton. Meski menyusut, stok tersebut cukup hingga akhir tahun mengingat panen raya akan kembali terjadi pada awal tahun.

Baca Juga: Bidik Ekspor Furnitur Senilai 5 Miliar Dolar, Kemenperin Siapkan SDM Unggul

Kualitas Beras

Seiring membaiknya produksi, volume impor turun signifikan pada 2019, yakni menjadi hanya 444.508,8 ton. Volume impor beras kembali turun pada 2020 menjadi 356.286,2 ton dan sedikit naik menjadi 407.741,4 pada 2021. Meski sudah berswasembada beras, Indonesia masih mengimpor beras untuk kebutuhan industri dan permintaan beras khusus atau premium.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31/Permentan/PP.130/8/ 2017, kelas mutu beras terdiri atas beras medium dan beras premium. Beras premium adalah beras dengan persentase butir patah kurang dari 15% dan tak ada benda lain yang tercampur. Derajat sosoh baik beras medium maupun premium mencapai 95%.

Faktanya, tak mudah bagi penggilingan padi mencapai persyaratan itu. Pada 2017, isu ini mengemuka saat Kementerian Pertanian sempat mengusulkan persentase butir patah maksimal hanya 10% sebelum diperbesar menjadi 15%. Selain itu, derajat sosoh 95% tak mudah dipenuhi penggilingan kecil.

Pengurus Koperasi Perpadi Jaya Nelly Soekidi menyampaikan, beras premium tidak hanya ditentukan oleh butir patah, tetapi juga derajat sosoh. “Penggilingan kecil rata-rata mencapai derajat sosoh hanya 70%,” katanya kepada Bisnis Indonesia pada 31 Agustus 2017 silam.

Untuk memenuhi kebutuhan beras premium yang tidak bisa dilakukan melalui penggilingan kecil itu, Bulog berinovasi. Saat ini, Perum Bulog telah membangun 10 pabrik pengolahan gabah menjadi beras dengan memanfaatkan teknologi canggih yang diberi nama Modern Rice Milling Plant (MRMP). Pabrik ini bisa menggiling padi dan menghasilkan beras kualitas premium sesuai ketentuan.

Salah satu MRMP itu berada di Kabupaten Sragen. Tim Ekspedisi Pangan 2022 Solopos Media Group (SMG) sempat mengunjungi pabrik yang dilengkapi mesin pengering berkapasitas 120 ton per hari dan rice milling unit (RMU) berkapasitas 6 ton per jam.

Baca Juga: Aplikasi peTani Apps Syngenta Sediakan Fitur Lengkap Bertanam Jagung

Ekspedisi Pangan 2022 SMG didukung oleh Pupuk Indonesia Holding Company, PLN, Syngenta Indonesia, Bulog, Perhutani, Perkebunan Nusantara dan Nasmoco. Tim ini mengeksplorasi sektor pangan di wilayah Jatim, Jateng dan Jogja.

“MRMP Sragen punya vertical drying center berkapasitas 120 ton sekali input dalam waktu pengeringan delapan sampai 10 jam. Jadi anggap saja kami dalam sehari bisa mengeringkan gabah basah 120 ton. Kami juga punya penampungan gabah atau silo 6.000 ton,” ujar Operation Manager MRMP Sragen, Willy Adi Purba, belum lama ini.

Silo di MRMP tersebut berupa tandon raksasa yang terdiri atas tiga unit. Masing-masing unit silo bisa menampung 2.000 ton gabah. Keunggulan MRMP Sragen juga terletak pada teknologi modern yang digunakan. Misalnya, mereka menggunakan tenaga listrik untuk mengoperasikan mesin seluruh instalasi MRMP dan tidak lagi memakai bahan bakar minyak (BBM).

“Bahan baku untuk kompor dryer kami pakai sekam. Jadi lebih hemat dan ramah lingkungan. Kami juga punya kapasitas mesin produksi MRU 7 ton per jam. Ada juga colour shutter untuk memisahkan beras kuning, beras mati. Jadi kami bisa jamin beras yang kami hasilkan benar-benar beras yang premium, bagus,” tutur dia.

Willy menjelaskan cara kerja MRMP Sragen yang dimulai dari pre cleaner untuk memisahkan hampa gabah. Setelah itu, gabah dimasukkan ke dalam destoner untuk pemisahan batu kerikil dan benda-benda kecil lainnya. Dalam proses selanjutnya, gabah masuk dalam husker untuk pemisahan beras dari kulitnya.



“Kemudian whitener untuk memoles, memutihkan. Lalu pemutihan lagi dengan pengkabutan air, color shutter untuk memisahkan beras yang kuning, hitam. Setelah itu mixer untuk memenuhi standar kualitas yang pasar harapkan, seperti beras pecah berapa persen. Kami juga punya mesin packaging jahit biasa, sealer atau vakum,” urai dia.

Walau tetap melayani petani perorangan, menurut Willy bidikan utama MRMP Sragen adalah sektor hulu. Dia mencontohkan ketika petani kesulitan menjual gabah saat panen raya yang disebabkan harga jual yang rendah. Dalam situasi seperti itu, gabah para petani bisa diserap MRMP Sragen sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP). “Gabah petani kami beli dengan harga sesuai dengan ketentuan Inpres tentang HPP,” kata dia.

Namun MRMP Sragen juga melayani petani perseorangan. MRMP Sragen siap melayani pengeringan padi petani maupun penggilingan gabah dengan tarif yang sesuai dengan harga pasar di wilayah tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya