SOLOPOS.COM - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia saat wawancara dengan Bisnis Indonesia di Jakarta, Selasa (25/10/2022). (Bisnis/Himawan L Nugraha)

Solopos.com, JAKARTA — Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menegaskan TikTok hanya mengantongi izin sebagai platform sosial media dan bukan sebagai tempat untuk berjualan atau menjalankan bisnis.

“Izin yang dipakai oleh TikTok itu kan bukan izin untuk melakukan bisnis, dia sosmed [media sosial],” katanya kepada wartawan saat ditemui di Gedung Kementerian Investasi/BKPM di Jakarta, Senin (26/9/2023).

Promosi Telkom dan Scala Jepang Dorong Inovasi Pertanian demi Keberlanjutan Pangan

Bahkan, Bahlil menegaskan pemerintah akan mencabut izin platform media sosial asal China itu jika tetap dijadikan tempat kegiatan jual beli.

“Saya terpaksa membuat keputusan, kita cabut izinnya kalau main-main (sebagai platform berjualan),” ucapnya.

Lebih lanjut Bahlil menjelaskan bahwa pihaknya sedang mengatur ulang ketentuan perdagangan seperti menetapkan pajak untuk produk dari luar negeri guna mencegah penjualan barang-barang yang dapat merugikan negara dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Bahlil juga menekankan aplikasi TikTok tidak akan diizinkan sebagai tempat jual beli, tetapi hanya sebagai platform media sosial.

“Kita akan menata kembali permendagnya, juga sudah disiapkan untuk aplikasi seperti TikTok itu hanya untuk media sosial, jangan dipakai untuk jualan,” ujarnya.

Bahlil mengatakan pihaknya tidak akan melakukan pembicaraan dengan TikTok terkait hal tersebut karena seharusnya mereka yang patuh terhadap peraturan negara.

Dia bahkan mempersilahkan TikTok untuk hengkang jika keberatan dengan ketentuan yang berlaku.

“Ngapain bicara sama mereka [TikTok]? Mereka harus ikut negara dong. [Jika TikTok keberatan] biar saja hengkang, nggak apa-apa. Apa urusannya? Apanya yang merugikan negara? Dia merugikan kita,” tegas Bahlil.

Selain itu, Bahlil menghimbau para artis atau figur publik untuk tidak hanya mempromosikan produk dari luar negeri, tetapi juga produk dalam negeri.

Dia mengingatkan jangan sampai Indonesia dibanjiri oleh produk impor.

“Kita pikir kenapa kalau saudara-saudara yang tenar-tenar ini mempromosikan produk dalam negeri. Boleh luar negeri juga, tapi harus ada keseimbangan lah, jangan sampai semua dibanjiri produk luar. Ini bukan melarang, tapi ada keseimbangan dengan produk dalam negeri,” ucapnya.

Fenomena social commerce, salah satunya TikTok Shop, telah membuat penjualan serta produksi di lingkup UMKM hingga pasar konvensional anjlok akibat kalah bersaing dengan produk-produk luar negeri yang dijual dengan harga jauh lebih murah.

“Kita bayangkan sekarang orang jual lewat e-commerce itu jilbab yang produk dalam negeri bisa Rp 70.000, tapi dari impor itu Rp 5.000. Ini ada apa? Jangan sampai ini menghancurkan industri UMKM kita,” terang Bahlil.

Sementara itu, pada Senin, Kementerian Perdagangan meneken revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 yang melarang platform social commerce memfasilitasi transaksi perdagangan.

Dalam revisi permendag itu social commerce hanya boleh mempromosikan barang atau jasa, namun dilarang membuka fasilitas transaksi bagi pengguna.

Sia-Sia

Di sisi lain, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai pemisahan aplikasi media sosial dengan e-commerce yang dilakukan TikTok tidak akan efektif atau sia-sia.

Data yang dimiliki TikTok masih dapat dibagi perusahaan terafiliasi atau sister company. Periset Indef Nailul Huda mengatakan adanya dua aplikasi tidak akan memastikan algoritma aplikasinya akan berbeda. Hal ini dikarenakan sejauh ini juga belum ada batasan penggunaan data di aplikasi kedua untuk kepentingan aplikasi utamanya.

“Regulasi memisahkan media sosial dengan TikTok Shop itu regulasi yang gak bertaji karena pada akhirnya algoritma di TikTok Shop bisa digunakan di TikTok sebagai media sosial,” ucap Huda, Senin (25/9/2023). Singkatnya, Huda mengatakan pemisahan aplikasi tersebut hanya memberikan ruang yang lain antara TikTok Shop dengan TikTok sebagai media sosial.

Padahal, menurut Huda yang menjadi masalah adalah model bisnis TikTok dan tindakan impor dalam harga murah yang dilakukan TikTok. “Kita harus bisa bikin aturan yang mengatur social commerce dan barang impor. Ini malah harus pisahin aplikasi,” ujar Huda.

Menurut Huda, daripada pemerintah mengatur terkait hal pemisahan e-commerce dengan media sosial dari social commerce, alangkah baiknya jika pemerintah mengatur perizinan Tiktok terkait social commerce itu sendiri. TikTok sendiri mengaku sudah memiliki izin berdagang di Indonesia.

Menurut laman resminya, TikTok sudah memperoleh Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing Bidang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUP3A Bidang PMSE) dari Kementerian Perdagangan. Namun, Huda mengatakan perizinan tersebut tidak sebagai social commerce, yang jelas memiliki model bisnis yang berbeda.

Huda dapat memastikan hal tersebut dikarenakan hingga berita ini ditulis masih belum ada regulasi terkait social commerce di Indonesia.



Social commerce aja belum ada aturannya,” ujar Huda. Selain itu, Huda mengatakan yang seharusnya dikejar oleh pemerintah adalah perizinan dengan pengaturan yang sama dengan e-commerce, terutama soal pengenaan pajak. “Mulai dari PPN sekaligus toko-nya harus mempunyai NPWP,” ujar Huda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya